Relief Candi Mendut: Kisah Kera dan Buaya Lambang Buddha dan Devadatta

mendut relief buaya dan kera sumber www borobudur tv

Relief Kera dan Buaya pada Candi Mendut sumber www borobudur tv

Tidak Memikirkan Diri Pribadi

Meditasi bukan latihan. Latihan-latihan hanyalah mengantar kita kepada keadaan alam meditasi atau dhiaan, dhyaan, chan, zen di mana seluruh hidup, cara, pola, dan gaya hidup kita berubah total menjadi meditatif. Hidup meditatif adalah Hidup Transpersonal, ketika Anda tidak lagi memikirkan kepentingan dan keuntungan bagi diri sendiri, tapi memikirkan kebaikan masyarakat luas, kepentingan sesama makhluk hidup. (Krishna, Anand. (2013). Alpha & Omega Japji bagi Orang Moder. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Persahabatan Kera dan Buaya Jantan

Di atas pohon mangga di tepi sungai besar hiduplah seekor kera. Pada suatu hari seekor buaya jantan datang minta mangga kepada Sang Kera. Beberapa butir mangga diberikan Sang Kera kepada Sang Buaya. Sang Buaya berterima kasih dan mohon diizinkan datang lagi kala memerlukannya. Akhirnya terjadilah semacam persahabatan antara Sang Buaya dan Sang Kera. Seekor buaya betina, istri Sang Buaya Jantan dapat merasakan bahwa suaminya menjadi lembut karena banyak makan mangga dan sering lupa membawakan ayam dan kambing sebagai santapan bagi dirinya.

Apa yang kita makan pada dasarnya akan bertransformasi menjadi anggota tubuh kita, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pikiran dan rasa kita. Dalam kisah tersebut, Buaya Jantan menjadi lebih lembut setelah makan vegetarian.

“Karena dua hal, Hazrat Inayat Khan menganjurkan agar kita tidak mengkonsumsi daging. Pengertian daging di sini bukan semata mata daging sapi, tetapi daging apa saja ayam, ikan, semuanya. Pertama, konsumsi daging akan memperlamban proses peningkatan kesadaran dalam diri kita. Kemajuan spiritual kita akan terganggu. Kedua, membunuh binatang dan mengkonsumsi dagingnya sangat tidak bermoral, sangat tidak manusiawi. Dari segi spiritual, mengkonsumsi daging akan mempengaruhi sifat dan watak manusia. la akan mewarisi watak binatang yang dimakan dagingnya itu. Dari sudut pandang mistik, mengkonsumsi daging akan mempengaruhi pernafasan kita, dan selanjutnya memblokir sentra sentra psikis dalam diri kita, yang sebenarnya berfungsi sebagai “jaringan tanpa kabel”. Sentra sentra psikis atau chakra inilah yang membantu terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita, dan menghubungkan kita dengan alam semesta. Untuk itu dianjurkan tidak makan daging. Dari sudut pandang moral, hati seorang pemakan daging akan menjadi keras. Hati yang seharusnya lembut dan diberikan oleh Allah untuk mengasihi sesama makhluk bukan hanya sesama manusia akan kehilangan kelembutan atau rasa kasihnya.” (Krishna, Anand. (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Tipu Daya Sang Buaya Betina

Sang Buaya Betina tidak ingin suaminya terpengaruh oleh persahabatan dengan Sang Kera. Maka Sang Buaya Betina membuat tipu muslihat untuk membunuh Sang Kera. Pada suatu hari, Sang Buaya Betina bilang kepada suaminya bahwa dia sedang sakit parah dan obatnya adalah jantung seekor kera. Sang Buaya Betina bersandiwara bahwa dia segera meninggal bila tidak makan jantung kera. Sang Buaya Jantan berada dalam dilema. Seekor kera yang baik hati selalu memberi mangga dan sudah menjadi sahabatnya. Tetapi istri tercinta segera mati apabila tidak makan jantung kera. Buaya Betina suka makan daging, sehingga sifat hewani untuk memperoleh tujuan dengan segala cara telah mendarah-daging.

“Sifat kehidupan yang memasuki tubuh anda lewat mulut, mempengaruhi sifat diri anda. Sesuai dengan istilah  yang kita gunakan baginya, tumbuh-tumbuhan memiliki satu sifat utama, yaitu growth, bertumbuh. Bila-tumbuh-tumbuhan yang kita konsumsi, maka kemanusiaan di dalam diri  kita pun ikut bertumbuh.  Sebaliknya, sifat utama hewan adalah kehewaniannya. Dengan mengkonsumsi dagingnya, kita tidak sekadar mengalami pertumbuhan, tetapi pertumbuhan kehewanian di dalam diri.” (Krishna, Anand. (2006). SEXUAL QUOTIENT, Melampaui Kamasutra Memasuki Tantra. One Earth Media)

Anand Krishna mengingatkan para pembaca buku-bukunya tentang sifat kemanusiaan: “Kemanusiaan adalah percikan kasih Gusti Pangeran yang ada di dalam diri setiap manusia.  Kemanusiaan adalah kesadaran bahwa apa yang kau inginkan bagi dirimu juga diinginkan oleh orang lain bagi dirinya. Jika kau ingin bahagia, maka orang lain pun ingin bahagia. Jika kau ingin sehat, maka orang lain pun ingin sehat. Jika kau ingin aman, maka orang lain pun ingin aman. Jika kau tidak mau dilukai, maka orang lain pun demikian. Jika kau tidak mau ditipu, maka orang lain pun tidak mau ditipu. Jika kau tidak mau disembelih, dimasak, dan disajikan di atas piring; jika kau tidak mau dagingmu dijual dengan harga kiloan; jika kau tidak mau jeroanmu dipanggang atau digoreng; maka janganlah engkau menyembelih sesama makhlukNya. Menyembelih sesama makhluk hidup bukanlah tindakan yang memuliakan. Bagaimana kau bisa mengagungkan Hyang Maha Agung dengan mengorbankan ciptaanNya?” (Krishna, Anand. (2013). Alpha & Omega Japji bagi Orang Moder. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Akhir Persahabatan antara Buaya Jantan dengan Kera

Akhirnya Sang Buaya Jantan mengundang Sang Kera untuk datang ke seberang sungai tempat tinggalnya. Dikatakan di seberang sungai terdapat pohon apel dan juga pohon nangka. Sang Kera diminta naik ke atas punggungnya. Sampai di tengah sungai, Sang Buaya Jantan mulai menyelam, dan Sang Kera bertanya mengapa dia tega bertindak sedemikian kejinya. Sang Buaya Jantan berkata bahwa istrinya sedang sakit parah dan harus makan jantung kera sebagai obatnya. Sehingga dia harus melakukan hal demikian pada Sang Kera. Kemudian Sang Kera berkata, bahwa dia selalu memberikan apa saja yang diminta Sang Buaya. Sang Kera kemudian memberi tahukan sebuah rahasia, bahwa dia selalu meloncat dari ujung dahan ke dahan lainnya, sehingga membawa jantung di badan sangatlah riskan. Dia menyembunyikan jantungnya di sebuah dahan yang tertutup oleh kerimbunan dedaunan. Sang Buaya diminta segera kembali menepikan ke dekat pohon mangga agar dia dapat segera mengambil jantungnya untuk diserahkan. Sang Buaya percaya dan membawa Sang Kera kembali ke tepi sungai yang segera melompat ke pohon mangga dan naik ke salah satu dahan.

 

Sang Kera menyampaikan bahwa bahwa Sang Buaya Betina tidak punya perasaan. Sedangkan Sang Buaya Jantan tidak mengerti arti persahabatan. Sang Buaya Jantan melongo merasa dipermainkan. Tetapi dia tak dapat memanjat pohon mengejar Sang Kera yang sudah terbebas dari ancaman kematian. Konon ceritanya dalam beberapa kali kehidupan Sang Kera lahir menjadi Sang Buddha, dan Sang Buaya Jantan menjadi Dewadatta. Sedangkan buaya betina lahir menjadi Ratu Cinca.

 

Pergaulan Mempengaruhi Kita, Apalagi Pasangan Hidup Kita

“Pergaulan dapat menginduksi kita dengan cara tersebut. Dengan makan, minum, dan bergaul dengan orang baik, kita ikut terinduksi menjadi baik. Jika melakukannya dengan orang yang tidak bermoral, kita juga akan terinduksi dan ikut menjadi orang yang tidak bermoral. Mengapa bisa demikian? Napas kita bisa secara otomatis menjadi selaras dengan orang-orang yang berada di sekitar kita. Apalagi jika orang-orang itu kita anggap sebagai sahabat. Dalam keadaan napas kita selaras, maka kita dapat saling mempengaruhi. Hal yang sama (penyelarasan napas) terjadi ketika kita bernyanyi bersama. Kemudian, muatan pada lirik lagu pun mempengaruhi jiwa kita. Lagu-lagu rohani yang dinyanyikan bersama menginduksi kita untuk bersama-sama memasuki alam rohani. Lagu-lagu disco mengantar kita kealam disco.” (Krishna, Anand. (2012). Neo Spiritual HYPNOTHERAPY, Seni Pemusatan Diri Untuk Bebas Dari Pengaruh Hipnosis Massal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Peringatan bagi kaum pria: Bila kesadaran anda lebih rendah dari pasangan anda, anda tidak perlu khawatir. Kesadaran pasangan anda dapat menarik anda ke atas. Asal anda tidak egois dan tidak menganggap wanita lebih rendah daripada pria, anda tidak menutup diri untuk belajar dari wanita. Celaka, bila kesadaran anda lebih tinggi dari kesadaran pasangan anda, karena kesadaran rendah pasangan anda dapat menarik ke bawah. Seorang pria tidak selalu mampu menarik ke atas kesadaran pasangannya yang lebih rendah.” (Krishna, Anand. (2003). Rahasia Alam Alam Rahasia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Situs artikel terkait

https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/

http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Agustus 2013

One Response to “Relief Candi Mendut: Kisah Kera dan Buaya Lambang Buddha dan Devadatta”

  1. […] kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com […]

Leave a comment