Sarpakenaka: Berhasrat Menjadi Istri Rama, Obsesi Tercapai di Kehidupan Krishna

sarpakenaka surpanakha sumber www columbia edu

Gambar Sarpakenaka (Surpanakha) dipotong hidungnya oleh Lakshmana sumber www columbia edu

Seks dan Tantra

“Barat salah memahami istilah Tantra. Tantra diartikan sebagai sacred sex—seks yang suci—seolah-olah ada juga sinful sex, seks yang penuh dosa, penuh dusta dan tidak suci. Tantra sesungguhnya adalah cara untuk meningkatkan kesadaran diri, sehingga kita tidak terjebak dalam permainan chakra-chakra bawah. Tantra adalah teknik untuk membebaskan diri kita dari keterikatan pada hal-hal rendahan dan luaran. Tantra bukanlah bersenggama dengan sebelumnya menyalakan lilin atau membakar dupa. Jika Tantra digunakan untuk membenarkan keinginan Anda untuk bersenggama, maka Anda telah menyalahartikan Tantra.”

“Seks sebagaimana dipahami dan dilakukan saat ini hanya memboroskan energi. Kenikmatan yang dirasakan hanya bertahan beberapa saat saja. Tidak lama kemudian, Anda lapar lagi, haus lagi, mencari lagi. Dan ketika ketertarikan terhadap pasangan Anda memudar, Anda mengejar pemicu baru. Seks tidak pernah memuaskan. Entah dengan predikat Tantra, atau polos tanpa predikat, tanpa atribut, tanpa dupa dan lilin. Kembali pada seks yang tidak pernah memuaskan. Alasannya seks tidak memenuhi kebutuhan jiwa. Jiwa membutuhkan senggama agung dengan semesta, bukan passion, bukan birahi, tetapi compassion, kasih.” (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Sarpakenaka yang Hiperseks

Surpanaka (atau Bahasa Indonesia: Sarpanaka, Bahasa Jawa: Sarpakenaka) adalah tokoh antagonis dari wiracarita Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana, dan merupakan seorang raksasi atau raksasa wanita. Ia tinggal di Yanasthana, pos perbatasan para rakshasa di Chitrakuta. Nama Surpanaka dalam bahasa Sanskerta berarti “(Dia) Yang memiliki kuku jari yang tajam”.

Sarpakenaka pandai mengubah penampilan diri guna memenuhi ambisinya. Dia bisa mengubah dirinya menjadi gadis cantik menawan kala bertemu Sri Rama dan Laksmana. Sarpakenaka mempunyai 2 orang pasangan hidup tetapi masih suka selingkuh, diantaranya selingkuh dengan Kala Marica, anak buah Rahwana yang pandai mengubah penampilan dari raksasa menjadi kijang kencana yang menawan Sita. Sarpakenaka juga seorang hiperseks. Seandainya saja Sarpakenaka bisa mentransformasikan energi seks menjadi energi yang kreatif, dirinya  akan sangat berguna bagi dunia.

 

Sifat Sarpakenaka dalam Diri Manusia

Sarpakenaka adalah figur dari orang-orang yang munafik, yang pandai mengubah citra diri guna mencapai ambisi mereka. Orang-orang yang memuaskan nafsu pribadinya dengan segala cara. Mereka berubah-ubah penampilannya demi ambisi pribadinya. Figur dari orang-orang yang pandai mencari pembenaran dari peraturan untuk memuaskan nafsunya.

“Seorang anak manusia berhati jahat lebih berbahaya daripada seekor hewan yang buas karena dia dapat menyembunyikannya, sementara hewan buas tidak berpura-pura, tidak menyembunyikan kebuasannya di balik kedok. Karena manusia berhati jahat bisa berpura-pura dan menyembunyikan niat jahatnya di balik kedok, kita bisa terkecoh oleh kemunafikan mereka. Jangan meremehkan mereka. Berhati-hatilah, bertindaklah dengan penuh kewaspadaan. (Krishna, Anand. (2008). Niti Sastra, Kebijakan Klasik bagi Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Jatuh Cinta pada Sri Rama

Saat Sarpakenaka melewati hutan, ia senang melihat Rama yang sangat tampan dan ingin dinikahinya. Dengan mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, ia mulai mendekati Rama dan meminta untuk dinikahi. Rama menolak karena ia melaksanakan Eka Patnivrataa atau menikah hanya sekali. Kemudian Rama menyuruh Sarpakenaka agar mencoba merayu Laksmana yang lebih tampan. “Tuan, aku mencintai Tuan dengan segenap hatiku. Mungkin aku pernah berbuat tidak benar di masa lalu, akan tetapi aku bersumpah bila menjadi istri tuan aku akan menjadi istri yang baik. Akan tetapi rupanya aku terlambat, Tuan hanya mau beristri satu orang saja dan kini menyuruh aku mencoba merayu saudaramu. Apa pun kata-kata Tuan aku laksanakan!”

Setelah meninggalkan Rama, ia berusaha menggoda Laksmana. Tetapi cintanya ditolak karena Laksmana berkata bahwa ia adalah pelayan kakaknya, dan lebih baik apabila Sarpakenaka menjadi istri kedua Rama dibandingkan menjadi istri pertama Laksmana. Sarpakenaka yang mulai kesal, berusaha mencakar Sita. Kemudian Rama melindungi Sita sementara Laksmana mengambil pedangnya. Saat Sarpakenaka menyerang Laksmana, pedang Laksmana melukai hidung Sarpakenaka yang segera berubah wujudnya menjadi raksasa. Akhirnya Sarpakenaka lari dan mengadu kepada suaminya Kara dan Dusana. Setelah Kara dan Dusana tewas di tangan Rama, ia lapor kepada Rahwana dan menyampaikan bahwa Sita istri Rama sangat cantik tiada bandingnya. Dan kemudian Sarpakenaka menghilang tak tentu rimbanya. Setiap saat yang ada dalam benaknya hanyalah wajah Sri Rama.

Sarpakenaka yang merayu Sri Rama dan Lakshmana adalah gambaran dari dunia yang merayu kita untuk mencintai dunia. Dunia ini maya, sementara, seperti kecantikan sementara Sarpakenaka. Sri Rama dan Lakshmana menolak walau akhirnya diancam. Rama dan Lakshmana bahkan mengungkap bahwa penampilan cantik Sarpakenaka itu hanya untuk mengecoh diri mereka. Bagaimana dengan diri kita saat menghadapi harta atau tahta atau lawan jenis dari dunia yang menggetarkan dada?

“Dunia tidak pernah berhenti merayu kita. Dunia tidak rela melepaskan diri kita. Ia selalu berupaya agar kita menjadi bagian darinya. Bila rayuannya tidak berhasil, ia akan mengecam, mengancam, mendesak dan memaksa dengan menggunakan segala daya upaya. Pokoknya, kita tidak boleh keluar dari lingkarannya. Lingkaran setan kelahiran dan kematian yang tidak berkesudahan.” (Krishna, Anand. (2006). Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Sepenggal Kisah Krishna di zaman Dwapara Yuga

Dalam Kitab Srimad Bhagavatam dikisahkan, ketika sedang melihat-lihat kota Mathura, Sri Krishna bertemu dengan seorang wanita bungkuk namun berwajah cantik bernama Kubja. Dia membawa bubuk kayu cendana. Krishna meminta sebagian dari bubuk kayu cendana tersebut yang ternyata merupakan persembahan untuk Kamsa, yang sangat menyukai bubuk kayu cendana yang di persiapkan wanita itu. Dengan berani dan penuh pengabdian pada Sri Krishna, sang wanita bungkuk ini berkata, “Siapa yang lebih tepat menerima bubuk kayu cendana ini selain diri-Mu.” Kemudian Krishna dan Balarama memakai bubuk kayu cendana tersebut. Senang dengan hal ini kemudian Krishna menekan wanita bungkuk ini dengan menaruh tangannya di punggung  wanita bungkuk itu sementara satu tangannya mengangkat dugu wanita itu keatas dan dalam seketika wanita itu dapat berdiri tegak. Itulah anugerah bertemu langsung dan melayani Sri Krishna. Dengan sentuhan Krishna, si wanita itu pun menjadi lebih cantik. Bersyukur atas apa yang terjadi dan dengan dipenuhi kasih pada Krishna sang wanita ini mengundang Krishna untuk datang ke rumahnya. Krishna berjanji akan datang ke rumah wanita itu setelah tugasnya di Mathura selesai.

Dalam kehidupan sebelumnya, Kubja adalah Sarpakenaka, adik Rahwana, dan ia pertama kali melihat Rama ketika Ia tinggal di Pancavati. Sarpakenaka melihatnya, ia merasa sangat tertarik. Tidak dapat menahan diri, dia mengubah dirinya menjadi wanita cantik dan mendekati Rama serta memintanya untuk menikahinya. Dan pada akhirnya terjadilah peristiwa dipotongnya hidung Sarpakenaka oleh Lakshmana.

Benar-benar sedih, Sarpakenaka akhirnya menemukan jalan ke Puskara, Rajasthan, di mana ia mulai melakukan pertapaan keras. Selama 10.000 tahun, ia menenggelamkan tubuhnya dalam air, memohon pada Shiva, agar Rama dapat menjadi suaminya. Dengan cara ini, ia berhasil menghadirkan Shiva, yang memintanya untuk menyebut keinginannya. Sarrpakenaka berkata: “Wahai Yang Mahakuasa dari semua dewa, Engkau dapat memenuhi keinginan seluruh makhluk hidup. Perkenankan saya untuk dapat menjadi istri Rama, yang sangat kusayangi karena kemuliaan hatinya.”

Shiva menjawab: “Wahai raksasa perempuan, aku tidak dapat memberikan keuntungan ini kepadamu segera, tetapi engkau harus menunggu sampai akhir Dvapara Yuga. Ketika di Mathurpuri (Kota Mathura), semua keinginanmu akan terpenuhi, jangan meragukan kata-kataku!”

Sarpakenaka akhirnya menghembuskan napas terakhirnya, sambil mengingat wajah Sri Rama.

 

One Pointedness

Keberhasilan Kubja mendapatkan Krishna di zaman Dwapara Yuga adalah hasil One Pointedness Sarpakenaka yang sungguh-sungguh mencintai Rama di zaman Treta Yuga sehingga melakukan tapa selama 10.000 tahun untuk memperoleh cinta Rama.

“Ketika titik yang dituju di’niat’kan sebagai satu-satunya kiblat dan kita mencintai kiblat itu, maka one ‘pointed’ness terjadi dengan sendirinya tanpa perlu diupayakan. Apa yang terjadi saat kau ‘jatuh’ cinta? Walau berskala kecil, saat itu pun terjadi one ‘pointed’ness. Setiap saat kau mengingat pacarmu, kekasihmu. Kau tidak perlu mengingatkan diri untuk mengingatnya. Ingatan itu muncul sendiri, wajah kekasih terbayang sendiri.”

“Sebagai seorang-pelajar, siswa atau mahasiwa, apa yang menjadi kiblatmu? Apa yang menjadi tujuanmu ke sekolah atau kampus? Pikirkan, renungkan, kemudian bertanyalah pada diri sendiri berapa banyak waktu yang kau gunakan untuk mencapai tujuan itu dan berapa banyak waktu yang kau sia-siakan untuk mengejar hal-hal lain. Belajar. Ke sekolah untuk belajar, ke kampus untuk belajar. Bukan untuk pacaran, bukan untuk berpolitik. Apakah kau one’pointed’ terhadap pelajaranmu? Silakan berkenalan dengan siapa saja, berteman siapa saja, bersahabat dengan siapa saja, tetapi tidak one’pointed’ terhadap apa pun, selain pelajaranmu tujuanmu ke sekolah dan ke kampus.”

One ‘pointed’ness adalah latihan mental dan emosional untuk memperkuat syaraf dan nyalimu. Latihan ini juga membutuhkan tenaga yang luar biasa, tenaga ribuan kuda, yang hanya dimiliki oleh kaum muda. Maka, tentukan kiblatmu, cintailah kiblatmu. Arahkan seluruh kesadaranmu dan tunjukkan seluruh energimu untuk mencapainya. Bila kau tidak mempraktikkan one ‘pointed’ness ketika masih memiliki kekuatan yang luar biasa dan energi yang berlimpah, maka setelah berusia 40-an nanti kau tak dapat mempraktikkannya lagi. Saat untuk melatih diri adalah, sekarang!” (Krishna, Anand. (2001). Youth Challenges And Empowerment. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Situs artikel terkait

https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/

http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Agustus 2013

Leave a comment