Apa yang Harus Dilakukan Tujuh Hari Menjelang Kematian? #SrimadBhagavatam

buku-bhagavatam-parikshit-dan-shuka

“Tinggal tujuh hari….. Apa yang harus kulakukan dalam tujuh hari ini?”

Apa yang akan kita lakukan bila diberitahukan tujuh hari kemudian akan mati? Mungkin langsung nervous dan jatuh sakit, atau kena serangan jantung dan mati sebelum hari ketujuh.

Kesadaran Parikshit jauh di atas kita, “Apa yang dapat kulakukan dalam tujuh hari ini? Bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapi Sang Kala, Dewa Pencabut Nyawa? Bagaimana meninggalkan dunia ini dengan tenang tanpa keterikatan, kekhawatiran, dan keraguan?

Para pendeta menyarankan upacara besar-besaran. Para cendekiawan menyarankan pendalaman kitab suci dan filsafat. Para menteri malah menyarankan agar berita itu dirahasiakan untuk menghindari pemberontakan atau serangan dari luar. Parikshit tidak terkesan, “Tidak, bukan persiapan itu yang kumaksud.” Persiapan apa lagi yang dimaksudnya, dia pun tidak tahu.

Ada yang menganjurkan latihan pernapasan. Ada yang menawarkan pembangkitan kundalini dan lain sebagainya.

Parikshit tetap tidak puas, “Jawablah dengan jujur, wahai pendeta dan guru yang kuhormati,” tanya Parikshit, “apakah kalian sudah merasa puas dengan ilmu-ilmu yang kalian kuasai? Apakah kalian sudah merasa dekat dengan yang Maha Kuasa? Apakah pengetahuan kalian telah mempersiapkan kalian untuk menghadapi maut dengan senyuman?”

Mereka jujur, “Tidak Baginda, tidak… Kami belum siap menghadapi maut dengan senyuman.”

Lalu untuk apa harus kudalami semuanya itu? Lagi pula kalian membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menguasai ilmu kalian, aku hanya memiliki tujuh hari. Itu pun akan berkurang menjadi enam bila beberapa saat lagi matahari terbenam.”

buku-bhaja-govindam-500x500

Cover Buku Bhaja Govindam

Parikshit mulai gelisah… tetapi dia sangat beruntung. Getaran kegelisahannya tertangkap oleh Shuka, putra Resi Vyaasa. Walau berusia belasan tahun, Shuka bukanlah manusia biasa. Kesadarannya jauh melebihi kesadaran sang ayah. Ia mendatangi Parikshit yang saat itu sudah meninggalkan istananya dan berada di tepi sungai Yamuna.

Sejak kelahirannya, Shuka tinggal di tengah hutan. Ia merasa tidak perlu berinteraksi dengan dunia luar. Oleh karena itu berbusana pun dianggapnya tidak penting. Dalam keadaan telanjang bulat remaja berusia 17-an tahun itu datang menghadap Parikshit, “Tujuh hari sisa hidupmu sudah lebih dari cukup untuk membebaskan kamu dari samsara, dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tak berkesudahan.”

Mereka yang hadir bersama Raja Parikshit saat itu diperkirakan lebih dari 100,000 orang. Ada yang malah memperkirakan 500,000-an. Kebanyakan di antara mereka baru pertama kali melihat Putra Vyaasa. Sebelum itu mereka hanya mendengar namanya saja. Walau demikian, Shuka tidak membutuhkan perkenalan lagi. Wajahnya yang berkilau sudah cukup untuk memperkenalkan dirinya. Parikshit bertekuk lutut dan mencium kaki Sang Bhagavan. Ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya.

Shuka mengulangi pernyataannya, “Raja, jangankan tujuh hari, sekejap pun cukup untuk membebaskan dirimu dari lingkaran kelahiran dan kematian… Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda! Dan saat itu pula kau terbebaskan dari samsara.”

Yang dimaksudkan Shuka tentunya bukan sekadar ulangan ala burung beo. Bersorak dengan gembira dan menyebut nama Govinda berarti menumbuh-kembangkan rasa cinta terhadap Ia Yang Maha Kuasa. Tidak takut, tidak pula menyembah-nyembah seperti budak, tetapi mencintai-Nya.

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

…….. dan dimulailah Kisah-Kisah dalam Srimad Bhagavatam. Kisah-kisah yang disampaikan Shuka kepada Parikshit…………………

Leave a comment