Rantideva: Melampaui Tirai Maya, Kekuatan Ilusif Gusti #SrimadBhagavatam

 

“Ketika seorang bijak menyadari segala sesuatu sebagai perwujudan-Ku, perwujudan Tuhan; kemudian dengan kesadaran demikian, ia memuja-Ku – maka ketahuilah bahwa ia telah mencapai ujung kelahiran dan kematiannya. Inilah kehidupannya yang terakhir. Seorang seperti itu sungguh sukar ditemukan.” Bhagavad Gita 7:19

Para Bijak – sebijak apa pun mereka – masih tetap berada dalam siklus kelahiran dan kematian. Mereka belum bebas. Banyak sekali pemikir hebat dan para filsuf spiritual – bukan sekadar berfilsafat memamerkan pengetahuan – semuanya masih terperangkap dalam dan oleh alam-benda. Semuanya masih belum dapat melihat apa yang sesungguhnya ada di balik tirai ilusif maya yang membingungkan.

Maya – Kekuatan yang bersifat ilusif memberi kesan “ada” padahal “tidak ada”. Maya memang diciptakan untuk memfasilitasi pertunjukan-Nya di atas panggung dunia ini. Seperti halnya para penyelenggara pertunjukan modern menggunakan sound system, lighting, dan berbagai peralatan mutakhir lainnya untuk memeriahkan pertunjukan – pun demikian Tuhan menggunakan maya untuk menciptakan berbagai ilusi!

Bayangkan kejadian ini – seorang penyelenggara atau stage director didatangi seorang sahabat lama. Ia ikut menyaksikan pertunjukan, yang dihebohkan sebagai sulap terbesar sepanjang masa. Kemudian, seusai show ia menyalami sang stradara dan mengucapkan selamat, “Wah, hebat sekali tadi – khususnya bagian…..”

Sang Sutradara tersenyum, “Bagian sulap yang kau saksikan itu, sungguhnya bukan sulap – hanya ilusi mata. Datanglah ke belakang panggung. Lihatlah peralatan yang canggih ini, semuanya digunakan untuk menciptakan ilusi sesaat, sehingga penonton terkesima, terperangah, menganggap sulap!” SANG SUTRADARA MENJELASKAN HAL ITU kepada seorang sohib, seorang yang dipercayainya, dicintainya, disayanginya. Ia tidak akan membuka semua kartunya di depan siapa saja. Tidak.

Demikian pula dengan Krsna dalam Gita. Ia menjelaskan hal-hal yang terjadi di belakang pangung. Ia menjelaskan cara kerja alam semesta kepada Arjuna yang memang layak untuk mendengarkannya. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)

Manakala Pangeran Rantideva akan minum dari air yang tersisa padanya, seorang chandala datang meminta air. Jantung Rantideva dikoyak rasa kasih pada chandala, “Aku tidak menginginkan kekayaan. Aku tidak ingin meminta tempat di surga. Yang aku lakukan adalah mengambil penderitaan orang lain dan membebaskan dirinya dari penderitaan.”

Dan, air yang tersisa padanya pun diberikan pada chandala tersebut.

Pangeran Rantideva ikhlas, bukan hanya harta kepemilikannnya yang dipersembahkan kepada Hyang Maha Kuasa yang mewujud dalam berbagai bentuk. Nasi, air, dan bahkan dirinya pun dipersembahkannya. Kemudian sang pangeran menutup matanya, mengatur napasnya dan mulai masuk dalam keheningan.

Selagi Pangeran Rantideva masuk dalam keheningan, tiba-tiba para tamunya berkumpul dan mereka mewujud menjadi diri mereka yang sebenarnya: Brahma, Vishnu, Shiva, dan para dewa lainnya. Mereka kagum oleh tindakan Pangeran Rantideva. Pangeran Rantideva menghormati mereka dan sama sekali tidak meminta anugerah apa pun. Pangeran Rantideva sadar bahwa di balik wujud para dewa, wujud Ilahi, ada Dia yang tak berwujud. Di balik wujud selalu ada yang tak berwujud. Yang penting bukan menyembah tetapi melayani-Nya. Pikirannya ditujukan kepada-Nya.  Ketika sedang merenungkan Hyang Maha Pengasih, avarana yang disebut maya, hijab, ilusi meninggalkannnya. Pangeran Rantideva terjaga dan menyatu dengan Yang Maha Agung, Gusti Pangeran, Paramatma, Param Brahman, Prambanan menurut lidah para leluhur kita.

Rishi Shuka berkata kepada Parikhsit, “Demikianlah, Pangeran Rantideva memerintah kerajaannya selama beberapa puluh tahun kemudian. Memerintah dengan dilandasi kesadaran. Dinasti Bharata patut berbangga mempunyai leluhur yang amat bijaksana.”

Mata Parikhsit menitik mendengar kisah yang disampaikan Rishi Suka dan berkata pelan, “Wahai Guru, sejatinya hanya karena rahmat Ilahi kami menjadi salah satu keturunan Pangeran Rantideva. Guru telah mengingatkan potensi genetik bijaksana yang ada dalam Dinasti Bharata. Terimalah hormatku, Jay Guru Dev!”

Arti kata “guru” dalam bahasa Sanskerta adalah “bebas dari kegelapan kebodohan yang disebabkan oleh ketidaksadaran.” Ungkapan “Jaya Guru Deva” dalam bahasa yang sama berarti, “berjayalah kemuliaan yang membebaskan diri dari kebodohan yang disebabkan oleh ketidaksadaran”.

Kemuliaan ini berada di dalam diri kita sendiri. Sumber kesadaran berada di dalam diri kita sendiri. Jiwa atau semangat panembahan tidak berasal dari luar diri. Seorang guru sejati hanya menginginkan kita bahwa kita tidak membutuhkan bantuan siapa-siapa. Kita bisa membantu diri sendiri. Kita bisa membebaskan diri dari kebodohan, dari ketaksadaran. Kemuliaan ada di dalam diri setiap orang, tinggal digali, ditemukan, dan diungkapkan.

Seorang guru sejati membebaskan kita dari segala macam ketergantungan, termasuk ketergantungan pada dirinya. Hanya seorang seperti itu yang dapat membantu. Hendaknya kita selalu ingat bahwa sesungguhnya kita sendiri yang dapat membantu diri sendiri. Kita sendiri yang mesti membantu diri sendiri. Dan, kita dapat melakukannya, asal kita percaya diri. Itu saja. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2010). The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)

Leave a comment