Archive for guru nanak

Penjahat Terbejat Bisa Menjadi Bijak #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 26, 2018 by triwidodo

Dikisahkan Guru Nanak bepergian ke sebuah desa dan ada seorang pencuri bernama Bhoomi Daku yang mengundangnya singgah ke rumahnya. Guru Nanak berkenan apabila Bhoomi Daku berjanji melakukan 4 hal:

  1. Tidak mencuri dari rumah orang miskin.
  2. Selalu bicara jujur.
  3. Apabila pergi ke rumah seseorang dan makan dari rumah tersebut, dia tidak akan mencuri di rumah tersebut.
  4. Tidak pernah mengkambing-hitamkan seseorang.

Bhoomi Daku berjanji menaati keempat janji tersebut dan Guru Nanak singgah di rumahnya. Mereka menikmati malam penuh kebahagiaan bersama, sebelum Guru nanak melanjutkan perjalanannya.

Pada malam keesokan harinya, Bhoomi Daku keluar untuk mencuri. Dia tidak dapat lagi mencuri dari orang miskin, dan dia memutuskan untuk mencuri di istana seorang raja. Dia berupaya menyelinap tapi ditangkap para pengawal raja. Para pengawal bertanya siapakah dia dan Bhoomi Daku menjawab dengan jujur sesuai pesan Guru Nanak, “Nama saya Bhoomi Daku dan saya ke sini mau mencuri di rumah raja!” Para pengawal raja tertawa, dan mengatakan, “Jangan membuat lelucon, Tuan pasti teman Raja, silakan masuk!”

Bhoomi daku masuk ke istana raja dan mencuri banyak perhiasan berharga dan dimasukkan kantong. Tiba-tiba Bhoomi Daku mencium bau yang sangat harum, seperti kue coklat. Dia masuk dapur dan makan kue coklat kesukaannya. Tiba-tiba Bhoomi Daku ingat janji pada Guru Nanak, bahwa dia tidak akan mencuri di rumah seseorang karena dia telah makan di rumah orang tersebut. Dia segera menjatuhkan kantongnya dan menyelinap ke luar istana.

Pada pagi hari, raja mendengar beberapa kue hilang dan melihat kantong berisi harta istana tergeletak di jalan. Para pengawal raja mengumpulkan penduduk dan mulai memukuli mereka yang dicurigai. Bhoomi Daku mendengar hal tersebut dan ingat janji keempat pada Guru Nanak.

Bhoomi Daku berkata, “Jangan menghukum mereka, mereka tidak bersalah, sayalah yang melakukan pencurian!”

Para pengawal membawa Bhoomi Daku menghadap Raja yang berkata, “Tidak ada seorang pun yang mencurigai Anda, mengapa Anda mengaku sebagai pencuri?”

Bhoomi Daku berkata, “Paduka Raja, saya telah berjanji pada Guru saya saya tidak akan mencari kambing hitam atas tindakan saya!”

Raja terkesan akan cerita Bhoomi daku dan berkata, “Saya tidak akan menghukum Anda, silakan Anda bebas untuk pergi!”

Bhoomi daku bertanya, “Akan tetapi Paduka Raja bagaimana dengan penduduk yang telah dipukuli para pengawal?”

Raja memutuskan mengadakan pesta besar mengundang semua penduduk. Bhoomi Daku berkata, “Saya tidak mengetahui Guru Nanak sekarang berada di mana, tapi saya akan menepati 4 janji yang saya buat dengan Beliau.”

Raja dan semua penduduk bahagia, para penduduk bergiliran memberi makanan kepada Bhoomi Daku dan Bhoomi Daku bertobat tidak menjadi pencuri lagi…………………..

Beruntunglah Bhoomi Daku yang telah bertemu Guru Nanak, dia telah menjadi pelayan dari pelayan Gusti…………

Penjahat Terbejat bisa menjadi seorang Sadhu

Sekalipun seorang penjahat terbejat memuja-Ku dengan penuh keyakinan dan kasih serta dengan segenap kesadarannya terpusatkan pada-Ku – maka ia mesti dianggap sebagai seorang bijak, seorang sadhu yang telah menemukan kedamaian di dalam dirinya, karena ia telah bersikap yang tepat.” Bhagavad Gita 9:30

 

Penjahat sebejat apa pun, jika berpaling pada-Nya, maka ia mesti dianggap seorang sadhu – seorang bijak berhati tenang, damai. Ia telah berhasil menenangkan pikirannya serta emosinya, yang sebelumnya selalu bergejolak.

Dalam hal ini adalah penting untuk memahami “jenis” bhakti ala Krsna…..

Krsna mengaitkan bhakti atau pemujaan, panembahan, devosi, dengan kasih. Bhakti, yang biasa diterjemahkan sebagai berbakti, mengabdi, atau memuja – sesungguhnya, memiliki makna yang jauh lebih dalam. Bhakti adalah semua itu plus dengan penuh kasih. Landasannya adalah kasih, kasih yang tak bersyarat dan tak terbatas.

Seorang anak bisa saja berbakti pada orangtuanya dengan harapan terselubung untuk mendapatkan warisan. Atau, rnendapatkan lebih banyak dari saudara-saudaranya. Karena, toh saudara-saudaranya tidak mengunjungi orangtua sesering dirinya, walau ia tidak mengungkapkan hal itu. Niat saja sudah cukup untuk menodai baktinya. Ia belum berbhakti.

Seorang hamba, seorang pengabdi pun sama. Ia bisa berhamba, mau mengabdi karena digaji, atau seperti para abdi-dalem di keraton-keraton kita. Gaji mereka tidak seberapa, tapi mereka puas dengan kedudukan mereka sebagai abdi-dalem. Mereka pun mengabdi demi posisi itu, demi gelar itu, demi penghargaan itu, demi identitas itu. Bagi kita, identitas “abdi-dalem” mungkin tidak berarti apa-apa. Tapi bagi mereka sangat berarti. Bagi mereka, identitas itu adalah jauh lebih berharga daripada uang jutaan per bulan. Jadi, di balik pengabdian dan penghambaan, mereka pun masih ada pamrih.

Pengabdian dan penghambaan kita pada Gusti Pangeran pun sama. Ada yang mengharapkan rezeki dari Gusti, ada yang mengharapkan kehorrnatan dari masyarakat, “Dia seorang saleh, dia begini, dia begitu………

 

BHAKTI MESTI BERLANDASKAN CINTA-KASIH tanpa batas dan tanpa syarat. Ditambah lagi dengan kata ananya – berarti, dengan segenap jiwa, raga, perasaan, pikiran, intelegensia, semuanya terpusatkan. Dengan kesadaran tunggal. Termasuk, ia tidak lagi memisahkan profesi, pekerjaan, kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, lingkungan, dan lainnya – dari bhaktinya, dari pemujaannya.

Hidup dia telah berubah menjadi aksi-bhakti. Ia menginterpretasikan bhakti lewat hidupnya. Ia menerjemahkan bhakti dalam bahasa tindakan nyata. Dan, ia melakukan semua ini karena ia melihat Wajah Gusti Pangeran di mana-mana. Baginya melayani sesama makhluk adalah ungkapan cintanya bagi Gusti Pangeran.

Baru setelah itu….. Jika seorang penjahat – sebejat apa pun – menginsafi dirinya, menyadari dirinya sebagai percikan Jiwa Agung, berpaling, dan mengubah hidupnya menjadi Berita-Baik; kemudian, melayani sesama makhluk, bukan saja sesama manusia; maka, ia dinyatakan sebagai seorang sadhu. Pikirannya sudah tenang; perasaannya tidak bergejolak; raga dan indranya terkendali; jiwanya damai; dan di atas segalanya perbuatannya mencerminkan ketenangan serta kedamaian dirinya. Ia menjadi wahana ketenangan dan kedamaian. Ia seorang sadhu……. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Berdoa demi Kebaikan Diri #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 25, 2018 by triwidodo

Dikisahkan Guru Nanak selalu bepergian dan mengajar di mana-mana. Sang Guru ditemani kedua sahabatnya, Mardana, seorang Muslim dan Bala seorang Hindu. Orang bertanya-tanya apakah agama Guru Nanak?

Guru Nanak menjawab, “Jika saya mengatakan Hindu, saya akan membohongi kamu. Jika saya mengatakan Muslim, saya juga tidak jujur dengan kamu. Renungkan sahabatku, kawanku, bukankah badan kita ini terbuat dari darah, daging, tulang dan sumsum yang sama? Badan seorang Hindu dan seorang Muslim tidak berbeda. Roh yang menghidupkan badannya pun tidak berbeda, karena berasal dari satu Sumber Yang Sama, yaitu Tuhan, Allah. Saya hanyalah seorang pengabdi, seorang pelayan di Hadirat-Nya. Ia tidak membedakan antara Hindu dan Muslim. Yang Ia perhatikan adalah amal-saleh mereka. Bukankah demikian?”

Guru Nanak mengkritik mereka yang melaksanakan ibadah ritual secara mekanis, tanpa terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri mereka. Baik orang-orang Hindu, maupun orang-orang Islam—dua-duanya ia kritik. Dan kadang-kadang, kritikan beliau terasa pedas sekali. Ada yang menolaknya. Ada yang menghujatnya. Tetapi, ada juga yang menerimanya. Kelompok terakhir inilah yang memanfaatkan keberadaan seorang Nanak di tengah mereka. dikutip dari buku (Krishna, Anand. (1999). Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Seorang Gubernur ingin bertemu dengan Guru Nanak, maka Guru Nanak dipanggil menghadap ke kantor Gubernur.

Setelah tanya jawab beberapa lama, Sang Gubernur tampak puas dan kemudian mengajak Guru Nanak berdoa bersama. Guru Nanak bersedia mengikuti doa yang dipimpin oleh Imam mereka.

Mereka mulai melakukan ritual, akan tetapi Guru Nanak tetap berdiri dan itu membuat Sang Gubernur marah, “Apa yang Anda lakukan? Anda sama sekali tidak berdoa!”

Guru Nanak berkata, “Saya berkata saya akan berdoa bersama Tuan, jika Tuan memimpin doa. Akan tetapi Tuan tidak memimpin doa.”

Guru Nanak menoleh kepada Imam, “Tuan sedang memikirkan anak kuda yang baru lahir dan takut anak kuda tersebut tercebur ke dalam sumur!”

Sang Imam mengakui apa yang dikatakan Guru Nanak benar adanya.

Guru Nanak kemudian berkata kepada Gubernur, “Tuan juga sedang memikirkan semua kuda yang akan tuan jual dan berapa banyak uang yang akan Tuan terima!”

Gubernur mengakui apa yang dikatakan Guru Nanak benar, mereka telah melakukan ritual dan seolah-olah sedang berdoa padahal yang dipikirkan berbeda, sedangkan Guru Nanak walau tidak melakukan gerakan ritual tapi berdoa dengan sepenuh hati………………..

Guru Nanak memberi nasehat, “Tuan harus menenangkan pikiran dan berdoa dari dalam hati bukan dari pikiran. Biarlah Cahaya Tuhan bersinar dalam hati Tuan.”

Doa yang masih membawa keinginan amarah dan keangkuhan

Menyadari kehadiran serta keterlibatan-Nya setiap saat tidak segampang berdoa sekian kali setiap hari atau setiap minggu, karena saat ini apa yang kita anggap berdoa hanya melibatkan fisik kita. Lapisan-lapisan kesadaran mental dan emosional pun sering tidak terlibat.

Itu sebabnya saat berdoa, kita masih bisa berpikir tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan ibadah kita.  Lalu bagaimana berserah diri sepenuhnya? Bagaimana berdoa dengan khusuk?

Dalam sutra ini, Narada menyebut tiga hal – keinginan, amarah dan keangkuhan. Saat berdoa pun ketiga-tiganya masih ada. Misalnya berdoa untuk memperoleh sesuatu. Entah sesuatu itu rumah di Simprug atau kapling di Surga, keinginan tetaplah keinginan. Kemudian, amarah. Bila ada keinginan yang tidak terpenuhi, doa pun bisa menjadi luapan amarah. Dan, keangkuhan… Saat berdoa, “aku” masih hadir. “Aku” berdoa. “Aku” rajin berdoa. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Doa demi kebaikan diri sendiri bukan demi Tuhan

Tuhan tidak membutuhkan ibadah. Dia tidak perlu disembah dan didoakan. Yang membutuhkan ibadah adalah manusia. Yang harus berdoa dan menyembah adalah kita. Beribadah, karena itulah kebaikan “terbaik” yang dapat kita lakukan. Berdoa dan menyembah, karena memang tidak ada “kebaikan” lebih baik dari itu……. mari kita renungkan bersama… Layakkah kita bagi “pemunculan” kasih? Sadarkah kita bahwa selama ini kita hanya membantu diri sendiri? Melayani diri sendiri? Beramal saleh, berdoa dan berziarah pun demi kebaikan diri sendiri. Bukan demi Tuhan. Kesempatan untuk melayani dan membantu orang harus dianggap sebagai sarana untuk memperbaiki diri. Untuk meningkatkan kesadaran diri. Untuk melihat Wajah-Nya di mana-mana. Untuk merasakan Kasih-Nya di dalam diri mereka. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Doa mohon duniawi tidak mendekatkan diri pada Tuhan

(duniawi atau kebutuhan dari egonya lebih besar daripada kecintaan pada Tuhan)

“Di antara beribu-ribu orang, belum tentu seorang pun berupaya untuk mencapai kesempurnaan diri. dan, di antara mereka yang sedang berupaya, belum tentu seorang yang memahami kebenaran-Ku.” Bhagavad Gita 7:3

Kesempurnaan diri adalah kesempurnaan dalan Jnana dan Vijnana. Banyak di antara kita yang sudah merasa puas dengan apa yang kita baca dalam kitab-kitab tebal, seperti yang ada di tangan kita saat ini. Hanyalah segelintir saja yang berupaya untuk memperoleh pengalaman pribadi.

Dan di antara segelintir yang sedang berusaha demikian pun, belum tentu satu orang yang mencapai kesempurnaan, dalam pengertian memahami kebenaran-Nya – Kebenaran Jiwa Agung.

Pengamatan Krsna merupakan tantangan bagi siapa saja – Tantangan bagi setiap orang yang menganggap dirinya berketuhanan, berkeyakinan, berkepercayaan, dan sebagainya. Adakah kita memuja-muja Tuhan, menyembah Tuhan untuk mendekatkan diri dengan-Nya, atau justru untuk menjauhkan diri dari-Nya?

Setiap doa untuk hal-hal bersifat duniawi – untuk mendapatkan rezeki, pekerjaan, jodoh, anak dan sebagainya – tidak mendekatkan diri kita dengan Tuhan. Semua itu adalah urusan kendaran badan bersama indra, pikiran segala.

Semua urusan itu adalah urusan teknis, urusan bengkel. Kita tidak perlu mengenal pemilik bengkel, apalagi pemilik pabrik mobil untuk memperbaiki kendaraan yang rusak. Cukup berurusan dengan teknisi. Bahkan tidak perlu mengenalnya juga. Titipkan mobil di bengkel, daftarkan segala keluhan kita, dan datang kembali sorenya untuk mengambil mobil.

Banyak hal lain yang menjadi inti doa kita ibarat keinginan untuk menghias dan mempercantik kendaraan. Tidak perlu ke bengkel, untuk itu cukup ke toko yang menjual variasi mobil.

Selama ini, kepercayaan kita sesungguhnya bukanlah untuk mengenal Tuhan, tetapi sekedar rutinitas pemeriksaan kendaraan, supaya tetap ‘fit’.

Krsna menyatakan, dan Ia tidak salah, bahwa di antara beribu-ribu orang yang ingin serta berupaya untuk mengenal-Nya, belum tentu seorang pun mencapai tujuannya, dan mengenal-Nya. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Kisah Raja dan Guru Nanak

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 2, 2018 by triwidodo

Dikisahkan pada suatu ketika seorang raja di India mendatangi Guru Nanak yang sedang berada di tepi sungai dan bertanya, “Wahai Guru! Seperti yang Guru katakan bahwa Tuhan pribadi melindungi para bhakta, para devoti-Nya. Padahal Tuhan memiliki begitu banyak utusan, mengapa Dia melindungi para bhakta, para devoti-Nya secara pribadi? Mengapa Dia tidak menyuruh para utusan-Nya untuk membantu para bhakta, para devoti-Nya?”

Pada saat sang raja berkata demikian, putranya sendiri yang sedang bermain di tepi sungai tergelincir masuk ke sungai. Melihat kejadian tersebut sang raja langsung melompat ke tengah sungai menyelamatkan sang anak.

Setelah menyelamatkan anaknya sang raja kembali ke tempat Guru Nanak.

Guru Nanak bertanya, “Wahai Raja, mengapa Raja melompat ke sungai?”

Sang raja menjawab, “Anak saya tergelincir di sungai dan saya harus segera menyelamatkannya.”

Guru Nanak bertanya, “Raja mempunyai banyak bawahan yang tepercaya, mengapa Raja melompat sendiri, tidak minta bantuan bawahan?

Sang Raja menjawab, “Karena menyangkut anak yang saya sayangi, saya tidak mau ambil risiko, saya mesti melindunginya dan menjaga keselamatannya.”

Guru Nanak berkata dengan pelan, “Wahai Raja, Tuhan mencintai bhakta-Nya, devoti-Nya seperti Raja mencintai putra Raja………”

 

Panembah yang Senantiasa Dilindungi Gusti

“Namun, para panembah penuh welas asih, devosi – yang senantiasa mengenang-Ku, mengingat-Ku, memuja-Ku tanpa mengharapkan sesuatu (semata karena mencintai-Ku) – selalu menikmati kemanunggalan dengan-Ku. Mereka Ku-lindungi senantiasa dan Ku-penuhi segala kebutuhannya.” Bhagavad Gita 9:22

Sebenarnya Tuhan sama terhadap setiap makhluk, hanya bagi para bhakta kehadiran-Nya tampak nyata

“Aku sama terhadap setiap makhluk, tiada yang Kubenci, tiada pula yang terkasih. Namun, kehadiran-Ku tampak nyata dalam diri mereka yang senantiasa berbhakti pada-Ku, sebab mereka berada dalam (kesadaran)-Ku.” Bhagavad Gita 9:29

Bayangkan rumah besar bak istana. Seluruhnya milik seorang kaya. Di mana-mana kita melihat ayat atau bukti kehadirannya. Namun, ia berada di salah satu ruangan — wujudnya berada dalam ruangan yang menjadi ruang pribadinya — entah itu ruang istirahat, ruang baca, atau ruang lain. Tidak berarti bila gerak-geriknya terbatas pada satu atau beberapa ruangan pilihannya saja. Tidak. Ia bisa berada di mana saja. Seluruh bangunan adalah milik dia. Kepemilikannya dapat dirasakan di mana saja, namun di ruang-ruang tertentu, kehadirannya menjadi sangat nyata.

Setiap analogi, perumpamaan yang kita gunakan, sesungguhnya hanyalah membuktikan kegagapan kita. Namun, mau tidak mau kita mesti menggunakannya untuk “sedikit” memfasilitasi pemahaman kita.

SEORANG PANEMBAH yang senantiasa berbakti pada-Nya adalah manunggal dengan-Nya. Dalam tradisi rohani di wllayah peradaban kita — kita tidak membedakan antara “Zat” Gusti dan Kawula. Zat yang mengabdi dan Hyang diabdi atau objek pengabdian – adalah satu dan sama.

Tentunya filsafat rohani ini tidak bisa dipahami oleh mereka yang beljiwa gersang, di mana kekerasan hati menjadi penghalang utama bagi kemanunggalan. Scbab itu, para penerima Wahyu, para resi mengajarkan paham VisistadvaitaDualitas Khusus – bagi mereka yang berjiwa keras dan gersang.

Visistadvaita adalah filsafat tengah di antara Dvaita atau dualitas dan Advaita atau non-dualitas murni.

ADVAITA ATAU NON—DUALITAS adalah filsafat hidup yang menjadi landasan pemikiran para resi di wilayah peradaban kita. Filsafat Non-Dualitas murni, di mana Kawula dan Gusti adalah manunggal, hanya dapat dipahami oleh rnereka yang bersentuhan dengan ajaran-ajaran para resi dari peradaban kita, mereka yang telah “melihat” kebenaran.

DVAITA ATAU DUALITAS adalah filsafat hidup yang melihat kawula sebagai kawula, dan Gusti sebagai Gusti. Tidak ada kemungkinan untuk menyatu atau manunggal. Bagairnanapun, kcdudukan pengabdi selalu di bawah Ia yang diabdi. Dalam pemahaman ini, ketunggalan Tuhan diakui. Tapi, kemanunggalan antara pengabdi dan yang diabdi tidak diakui. Pemahaman ini sering menciptakan perpecahan, distorsi, dan pada akhirnya pertikaian.

………….

Visistadvaita tetap mempertahankan perpisahan antara Jiwa dan Jiwa Agung — keduanya beda secara kuantitatif. Walau, di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa perbedaan kuantitatif itu menjadi tidak penting-penting banget, karena Jiwa dan Jiwa Agung adalah sama secara kualitatif. Secara kuantitatif, secawan air laut jelas tidak sama dengan seluruh air di laut. Tetapi, secara kualitatif, air di dalam cawan itu adalah sama asinnya dengan air laut. Sama-sama air laut.

Mereka yang berada dalam wilayah Visistadvaita memuja…… ..

TUHAN SEBAGAI AYAH, IBU, Saudara, Kawan, bahkan Kekasih. Mereka menciptakan hubungan yang erat — melebihi hubungan antara majikan yang diabdi dan jongos yang mengabdi. Ada pula di antara mereka, lulusan Wilayah Dvaita, yang merasa tidak perlu rnengubah hubungan dalam bentuk pengabdi dan Hyang diabdi — namun, mereka mengubah relasi antara keduanya, mempereratnya. Pengabdi bukanlah jongos yang selalu mengharapkan gaji. Ia mengabdi tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Dasarnya bukan lagi untuk meminta suatu imbalan, tetapi semata karena kasih.

Hubungan antara Advaita dan Visistadvaita sangat erat. Ada kalanya seorang panembah yang telah manunggal, telah berada dalam Wilayah Advaita — memilih untuk turun tangga sedikit, berada dalam wilayah Visistadvaita dengan penuh kesadaran, supaya dapat merasakan manisnya cinta, manisnya kasih, manisnya rasa rindu. Mereka sengaja menciptakan perpisahan untuk memunculkan romance di dalam hidup mereka — Roman Ilahi. Inilah yang dimaksud oleh Krsna, bahwasanya kehadiran-Nya dapat dirasakan, bahkan dapat dilihat di dalam diri seoran g panembah sejati, walau sesungguhnya Ia Maha Ada — berada di mana-mana. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia