Berdoa Beramal Saleh seperti Cara Si Tuli dalam #Kisah #Masnawi

Sebelum menjenguk tetangganya yang  sedang sakit, seorang tuli berpikir dalam hati: “Jika aku bertanya, ‘Sahabatku, bagaimana keadaanmu?’—dia pasti menjawab, Sudah baikan sedikit.’

“Lalu aku akan menanggapinya, ‘Alhamdulillah, Puji Tuhan! Obat apa yang kau minum?’

“Dan dia akan memberitahu nama obat itu. Kemudian, aku akan mengatakan, ‘Obat yang baik sekali. Apakah ada seorang tabib yang merawatmu?’

“Jawaban dia pasti, ’Ya, Si Fulan yang merawat aku.’

“Dan aku akan berbasa-basi, ‘Ah, dia seorang tabib yang baik sekali. Kesehatanmu akan segera pulih kembali.’”

 

Anda dan saya tidak lebih baik dari Si Tuli dalam cerita ini. Sebelum mengajukan pertanyaan, kita sudah memikirkan jawabannya terlebih dahulu. Kemudian, jika jawaban yang kita terima tidak sesuai dengan harapan kita—maka terjadilah kekacauan:

 

Dengan penuh percaya diri, Si Tuli mendatangi tetangganya yang sakit, “Sahabatku, bagaimana keadaanmu?”

Jawaban yang dia peroleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, “Aduh, aku sekarat, nih.”

Si Tuli menanggapinya, “Alhamdulillah, Puji Tuhan! Obat apa yang kau minum?”

Karena kesal dan marah, tetangga yang sudah sekarat itu, menjawab Si Tuli, “Obat? Obat apaan! Racun!”

Si Tuli tidak mendengarkan jawaban temannya, dan menyahutnya dengan tanggapan yang telah ia siapkan sebelumnya, “Ah, obat yang baik sckali. Apakah ada seorang tabib yang merawatmu?”

Sang Tetangga lebih kesal lagi, “Azraeel! Malaikat Maut yang merawatku!”

“Pantas! Dia memang baik sekali. Dalam waktu dekat, semuanya akan beres!” kata Si Tuli.

Tetangga yang sakit sudah tidak tahan lagi dan mengusirnya clari rurnah, “Aku tidak tahu bahwa selama ini kamu memusuhi aku. Kamu mengharapkan aku mati.”

Sesungguhnya Si Tuli ingin berbuat baik. Ingin bersahabat dengan tetangga yang jarang ia temui, tetapi karena ketuliannya, ia malah menambah seorang musuh.

Banyak orang yang bertlndak seperti Si Tuli. Mereka berdoa, beramal-saleh, tetapi dengan harapan akan imbalan. Dcngan harapan akan pujian. Bahkan, sebelum berbuat sesuatu sudah mengharapkan imbalannya.

Kepada orang-orang seperti itulah Nabi Muhammad memberikan peringatan, “Dirikan Shalat, karena selama ini cara kalian berdoa tidak benar.”

Di sini, Rumi menyentuh inti ajaran Nabi Muhammad. Inti yang terlupakan oleh orang Arab, oleh Anda dan oleh saya — oleh kita semua. “Mendirikan” Shalat berarti  “meningkatkan” kesadaran diri. “Menundukkan kepala dan bersijud berarti “merendahkan” ego.

Yang sedang mengejar nama dan pujian, yang sedang mencari imbalan, ganjaran dan pahala adalah ego Anda. Pemah saya mengikuti mimbar agama di salah satu stasiun teve, dan tidak bisa menahan tawa. Seorang “tokoh” agama menguraikan “fasilitas-fasilitas” yang kita terima dari Allah. Rejeki, hidup, ini dan itu. Lalu ia bertanya, “Masa kita tidak akan mengucapkan terima kasih kepada si pemberi fasilitas?”

Ucapan terima kasih untuk segala fasilitas yang kita dapatkan—demikianlah isi doa kita. Demikianlah isi doa orang-orang Arab sebelum Nabi Muhammad. Lalu apa bedanya?

Rumi menegaskan:

 

Oleh karena itu, Nabi mengingatkan, “Mohonlah tuntunan-Nya, bimbingan-Nya!” Jangan-jangan caramu berdoa sama seperti cara para musyrik dan para munafik.

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2000). Masnawi Buku Kesatu, Bersama Jalaludin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)

Leave a comment