Archive for June, 2018

Kisah Shvetaketu dan Pengetahuan Sejati Tat Tvam Asi

Posted in Inspirasi Rohani on June 30, 2018 by triwidodo

Dialog Shvetaketu dan Ayahandanya

Rishi Uddaalaka adalah putra dari salah satu murid utama Rishi Dhaumya – yang bernama Aaruni. Uddaalaka memiliki dua putra bernama Nachiketa dan Shvetaketu. Nachiketa adalah tokoh utama Katha Upanishad, sedangkan Shvetaketu muncul dalam tiga Upanishad UtamaBrihadaaranyaka, Chaandogya dan Kaushitakee Upanishad. Shvetaketu adalah penerima pengetahuan yang diabadikan dalam Mahaa-vaakya (Tat-Twam-Asi) yang muncul dalam enam belas bab dari bagian ke-6 dari Chaandogya Upanishad.

 

Setelah belajar selama 12 tahun di Gurukula, Shvetaketu kembali ke ayahnya, Uddaalaka putra Aaruni, dan membanggakan pencapaian pendidikannya.

Uddaalaka berkata, “Shvetaketu, berbagai cabang ilmu telah kau kuasai, tetapi apakah kau bisa mendengar Ia yang tak terdengar? Merasakan Ia yang melampaui segala macam rasa? Dan, mengetahui Ia yang berada di atas segala macam pengetahuan? Apakah ilmu itu pun telah kau kuasai?

Shvetaketu baru menyadari bahwa pengetahuannya belum sempurna dan minta ayahnya untuk mengajarinya kebenaran hakiki tersebut. Shvetaketu mohon penjelasan hal tersebut kepada ayahandanya.

Berikut kutipan penjelasan Uddaalaka kepada Shvetaketu dalam buku: (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

“Shvetaketu, berbagai cabang ilmu telah kau kuasai, tetapi apakah kau bisa mendengar Ia yang tak terdengar? Merasakan Ia yang melampaui segala macam rasa? Dan, mengetahui Ia yang berada di atas segala macam pengetahuan? Apakah ilmu itu pun telah kau kuasai?”

Tanah liat di seluruh dunia berada di luar jangkauanmu. Namun, segumpal tanah liat berada dalam jangkauanmu. Dengan mengetahui sifat segumpal itu, kau dapat mengetahui sifat tanah liat secara keseluruhan, secara utuh. Dengan mempelajari sifat benda-benda yang berada dalam jangkauanmu, kau dapat mempelajari sifat Yang Tak Terjangkau.

Tanah liat itu digunakan untuk membuat berbagai macam peralatan, bahkan mainan, patung dan lain sebagainya. Bentuk peralatan dan benda-benda itu memang beda, tetapi intinya satu dan sama, tanah liat. Nama dan sebutan yang kita berikan pada setiap benda beda, namun perbedaan itu pun tidak mempengaruhi inti setiap benda. Walau berbeda bentuk, wujud atau rupa, maupun nama dan sebutannya, bahan dasarnya masih tetap sama, tanah liat.

Contoh lain, emas. Kita menggunakannya untuk membuat berbagai macam perhiasan. Setiap perhiasan beda bentuknya, beda pula sebutannya,namun bahan bakunya tetap satu dan sama. Beda rupa dan nama adalah pemberian manusia; buatan kita. Nama dan rupa berasal dari manusia. Bahan baku bersifat alami. Nama dan rupa berbeda dan dapat berubah. Bahan bakunya tetap sama, tidak ikut berubah.

Shvetaketu, janganlah kau terjebak oleh lembaran kitab. Pengetahuan yang kau peroleh dari kitab hanyalah satu sisi dari dari Pengetahuan Sejati. Keseluruhannya hanya untuk menyadarkan dirimu bahwa masih ada yang jauh lebih tinggi, lebih penting, lebih mulia. Sesuatu yang tak tertuliskan, tak terjelaskan lewat kata-kata. Pengetahuan Sejati adalah Pengetahuan tentang Sifat yang Satu itu. Segala sesuatu dalam alam ini berasal dari Yang Satu Itu.

Untuk memahaminya, pelajarilah dirimu. Shvetaketu, gumpalan tanah liat itu adalah dirimu. Tat Tvam Asi – Itulah Kau. Dengan mempelajari diri yang berada dalam jangkauanmu, kau dapat mengetahui sifat dasar Yang Tak Terjangkau Itu! Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Penghayatan Tat Tvam Asi untuk Melampaui Kesadaran Jasmani

Selama belasan, bahkan puluhan tahun, kita ber-“slogan” One Earth, One Sky, One Humankind—Satu Bumi, Sam Langit, Satu Umat Manusia. Syarat pertama Maitri atau Persahabatan sudah terpenuhi, setidaknya demikian anggapan kita. Tetapi saat menghadapi kenyataan di sekitar kita, di mana si sipit dan si belo dan si bule lebih berhasil dibandingkan dengan kita, maka terlupakanlah slogan yang telah kita ulangi selama bertahun-tahun ini. Muncul rasa iri, cemburu. Kenapa mereka lebih berhasil dibanding kita?

“Love is the Only Solution”—Cinta-Kasih adalah satu-satunya solusi. Syarat kedua Karuna pun rasanya terpenuhi. Tetapi, saat mempraktikkannya? Bagaimana menyikapi seseorang yang tidak memahami bahasa kasih? Apakah mesti mengasihi nyamuk demam berdarah atau anjing gila?

Dengan bekal slogan “Be Joyful and Share Your Joy with Others”—Jadilah Ceria dan Bagilah Keceriaanmu dengan Siapa Saja—rasanya syarat ketiga tentang Mudita terpenuhi. Ya, terpenuhi sebatas slogan. Praktiknya? Apa bisa ceria dan berbagi keceriaan ketika orang yang dibagi keceriaan malah menyerang balik?

SANGAT SULIT MEMPRAKTIKKAN KETIGA LAKU TERSEBUT tanpa terlebih dahulu membebaskan diri dari “pengaruh dualitas”—Upeksa. Untuk itu, kita mesti menembus kesadaran jasmani.

Selama masih berkesadaran jasmani murni, dualitas tidak bisa dilampaui. Dualitas baru bisa dilampaui, baru bisa “mulai” dilampaui pada tataran energi. Energi yang ada di dalam diri saya, yang menghidupi, menggerakkan diri saya adalah sama dengan energi yang ada di dalam dan menggerakkan Anda. Sebatas ini dulu. Landasan energi ini penting. Tidak perlu membahas filsafat yang tinggi. Sederhana dulu.

Dengan memahami hal ini, kita baru bisa mengapresiasi ungkapan Tat Tvam Asi, Itulah Kau; That Thou Art, That You Are! Dan itu pula Aku. That I am.

Kemudian, kedua tangan kita, dengan sendirinya, akan mengambil sikap.

NAMASTE ATAU NAMASKARA MUDRA—Patanjali selalu digambarkan dalam sikap, dalam mudra seperti ini. Kedua tangan tercakup dalam Namaskara.

Ketika kita sedang bersalaman dengan cara itu, boleh mengatakan Namaste, Namaskara, Salam, atau apa saja. Ungkapan di luar boleh apa saja, dalam bahasa mana saja. Tetapi dalam hati, kesadaran kita mestilah berbahasa satu dan sama, berbahasa kesadaran itu sendiri—Kesadaran Tat Tvam Asi.

Namaste, Namaskara, Salam; Tat Tvam Asi, Itulah Engkau—dan pada-Mu Hyang bersemayam di dalam setiap makhluk, kuucapkan salam-hormatku, salam-kasihku. Penjelasan Yoga Sutra Patanjali I.33 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2015). Yoga Sutra Patanjali Bagi Orang Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Tat Tvam Asi, Kesadaran Jiwa sebagai Pemersatu

Selama Jiwa Individu atau Jivatma tidak mengenal hakikat dirinya – ia beranggapan bila dirinya adalah badan, indra, pikiran, perasaan dan sebagainya. Kadang seseorang yang menyatakan, ‘Aku Jiwa, bukan badan’, dan sebagainya pun, masih tetap tidak menyadari hal itu. Ia baru berwacana saja.

Meditator adalah seorang yang menyadari hakikat dirinya. Ia telah menemukan kemuliaan dirinya. Ia melihat dirinya di mana-mana. Tat Tvam Asi – Itulah kau. Kau juga Aku. Aku juga Kau. Dalam kesadaran Jiwa, dan hanyalah dalam kesadaran Jiwa, kita baru bisa bersatu.

Tidak ada satu pun ideologi, kepercayaan, doktrin, atau dogma yang bisa mempersatukan umat manusia, apalagi mempertahankan persatuan dan kesatauan itu – kecuali Kesadaran Jiwa.

Lihat saja nasib lembaga kepercayaan. Kitab sucinya satu dan sama; anutannya satu dan sama; berawal dari satu akar; filsafat dasarnya sama; tapi, tetap saja terpecah-belah. Terbagi dalam sekian banyak mazhab dan sekte. Dan, hal itu memang lumrah, wajar, karena setiap orang bisa menginterpretasikan ajaran yang sama sesuai dengan cara berpikirnya, persepsinya, penghayatan, dan pemahamannya. Penjelasan Bhagavad Gita 9:13 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Kisah Nachiketa Tentang Kematian

Posted in Inspirasi Rohani with tags , on June 29, 2018 by triwidodo

Kisah Nachiketa ini ada dalam Katha Upanishad. Nachiketa adalah putra seorang rishi bernama Udalaka. Pada suatu hari, Udalaka melakukan upacara persembahan. Sesuai kebiasaan masa itu, orang yang melakukan upacara menyumbangkan sapi kepada para Brahmana yang berkumpul di akhir upacara. Udalaka menyumbangkan sapi yang tua dan sakit-sakitan yang tidak menghasilkan susu. Nachiketa mengatakan seharusnya ayahnya menghadiahkan sesuatu yang berharga, yang masih disenanginya, bukan memberikan sesuatu yang dia sudah tidak menghargainya. Udalakan menjadi gusar kepada putranya dan berkata bahwa dia akan menghadiahkan Nachiketa kepada kematian, kepada Dewa Yama.

Nachiketa pergi ke tempat tinggal Yama. Penjaga Istana Yamaloka menghentikan Nachiketa di gerbang dan mengatakan kepadanya bahwa Yama tidak ada di Yamaloka. Nachiketa memutuskan untuk menunggu di gerbang Yamaloka tanpa makan dan minum. Yama kembali ke Istana-Nya dan menemukan anak muda itu menunggu Dia di depan gerbangselama 3 hari. Senang tindakan Nachiketa, Yama memberi makan dan minum dan menawarkan tiga anugerah kepada Nachiketa. Athiti devo bhava, tamu yang tidak diundang adalah Dewa yang patut dihormati.

Pertama, Nachiketa minta ayahnya menjadi damai bahagia bebas dari duka cita dan kemarahan. Yama menjawab, setelah Nachiketa kembali dari kematian, ayahnya akan menerimanya, bebas dari kesedihan dan kemarahan dan akan menjadi damai dan penuh suka cita.

Kedua, Nachiketa berkata bahwa di surga tidak ada rasa takut, bahkan tidak ada kematian dan usia tua, bahagia dan bebas dari semua penderitaan. Nachiketa ingin tahu jalan menuju surga melalui api batin. Yama menjelaskan tentang ilmu api batin sehingga Nachiketa dapat memahami sepenuhnya. Ilmu ini akan memberikan suka cita surgawi dan api ini tersembunyi dalam batin Nachiketa. Nachiketa dapat memahami ilmu tersebut dan Yama sangat senang dan bahkan memberikan nama ilmu api batin itu dengan nama Api-Nachiketa.

Yama menyampaikan bahwa eseorang yang membakar api batin ini tiga kali dan tanpa lelah mempraktekkan ritual api, praktik berbagi dan praktik pengendalian diri sesuai dengan tiga Veda, akan menjadi bebas dari kelahiran dan kematian. Dengan mengetahui api suci ini dan dengan memilihnya dengan tulus, dia akan mencapai kedamaian abadi.

Ketiga, Nachiketa berkata bahwa ada begitu banyak ketidakpastian tentang kematian. Ada yang mengatakan bahwa jiwa hidup setelah kematian dan yang lain mengatakan bahwa tidak demikian. Nachiketa ingin memahami ini hal tersebut.

Yama berpikir, adalaah berbahaya mengajarkan rahasia Jiwa kepada orang yang belum layak menerimanya.

Yama berkata, silakan Nachiketa minta anak keturunan dengan masa hidup ratusan tahun, banyak sapi, gajah, kuda dan emas. Bahkan kerajaan dengan wilayah yang luas dan menjadi kaisar terhebat di bumi. Akan tetapi Nachiketa tidak goyah.

Yama berkata agar Nachiketa minta kesenangan yang langka, musik yang indah, bahkan bidadari yang tidak mungkin diperoleh di dunia.

Nachiketa tahu bahwa segala kesenangan cepat atau lambat akan berakhir. Nchiketa ingin pengetahuan tentang Jiwa.

Akhirnya Yama menyampaikan ilmu tentang Jiwa kepada Nachiketa.

Usia Kesadaran dan Usia Fisik Manusia

Usia kesadaran sering tidak seirama dengan usia fisik. Banyak orang tua yang bertingkah seperti remaja, bahkan masih dipenuhi hasrat keserakahan di kala senja kehidupan telah datang menyapanya. Di lain pihak ada pula anak-anak yang sudah bijak sejak usia dini. Bagi yang mempercayai adanya siklus kehidupan, mereka menganggap bahwa anak-anak yang sudah bijak sejak dini telah banyak belajar dari sekian banyak kehidupan sebelumnya. Bagi yang mempercayai hidup itu hanya sepenggal garis lurus, mereka menganggap bahwa anak-anak tersebut lahir dengan sifat bawaan sempurna. Kita tidak dapat mencapai keadaan tersebut.

Sudahkah kita seperti Nachiketas yang mempertanyakan tindakan ayahnya (kebiasaan masyarakat) yang salah? Siapkah kita mendatangi kematian? Sadarkah kita bahwa segalaa kenyamanan dan kekuasaan di dunia ini hanya bersifat sementara dan selalu ada akhirnya?

Kematian

Ketika masih memiliki badan, kau menyia-nyiakannya untuk mengejar hal-hal yang serba semu. Kau tidak pernah mempersiapkan dirimu untuk sesuatu yang pasti terjadi, yaitu maut. Apabila kau hidup dalam ketidaksadaran, kau akan mati dalam ketidaksadaran pula. Lalu sia-sialah satu masa kehidupan. Kau memasuki lingkaran kelahiran dan kematian lagi.

Diantara sekian banyak ketidakpastian dalam hidup ini, mungkin hanya kematian yang merupakan satu-satunya kepastian. Aneh selama ini kita sibuk mengejar ketidakpastian. Dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sudah pasti. Sesungguhnya, mempersiapkan masyarakat untuk menerima kematian adalah tugas agama dan praktisi keagamaan. Tugas ini sudah lama terlupakan, karena para praktisi keagamaan tidak sepenuhnya memahami proses kematian. Lalu  penjelasan apa yang dapat mereka berikan? Tidak ada yang memperhatikan perkembangan diri manusia. Perkembangan rasa dalam diri manusia tidak diperhatikan sama sekali. Itu sebabnya, hidup kita masih kering, keras dan kaku. Tidak ada kelembamannya, tidak ada kelembutannya.

Agama bagaikan jalan-jalan menuju spiritualitas. Jalan menuju perkembangan batin. Sekarang agama dijadikan tujuan. Lalu kita sibuk mencocok-cocokkan yang satu dengan yang lain. Tentu saja tidak akan ketemu. Setiap jalan mempunyai rute sendiri, kekhasan sendiri. Pengalaman yang  diperoleh dalam perjalanan pun akan selalu berbeda.  Bekal kita adalah pengalaman-pengalaman yang berbeda yang kita peroleh dalam perjalanan. Kalau mau dicocok-cocokkan , ya pasti ribut melulu. Pengalaman perjalanan Kanjeng Nabi Muhammad berbeda dengan pengalaman Gusti Yesus. Pengalaman perjalanan Yang Mulia Buddha berbeda dengan pengalaman perjalanan Sri Krishna. Yang tidak berbeda adalah hasil akhirnya, tujuannya. Pengalaman akhir mereka tidak berbeda.

Pengalaman akhir setiap Nabi, setiap Mesias, setiap Buddha dan setiap Avatar, adalah apa yang terjadi pada saat kematian mereka. Peradaban yang masih sibuk dengan urusan perut dan politik tidak pernah memperhatikan pengalaman akhir. Mereka masih sibuk mempelajari pengalaman perjalanan para Nabi mereka, para Mesias mereka, para Avatar mereka, para Buddha mereka. Mereka yang sudah selesai dengan urusan perut, yang sudah muak dengan dunia politik, mulai mendalami hal-hal yang lenih esensial. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2002). Kematian, Panduan Untuk Menghadapinya Dengan Senyuman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)