Dialog Shvetaketu dan Ayahandanya
Rishi Uddaalaka adalah putra dari salah satu murid utama Rishi Dhaumya – yang bernama Aaruni. Uddaalaka memiliki dua putra bernama Nachiketa dan Shvetaketu. Nachiketa adalah tokoh utama Katha Upanishad, sedangkan Shvetaketu muncul dalam tiga Upanishad Utama – Brihadaaranyaka, Chaandogya dan Kaushitakee Upanishad. Shvetaketu adalah penerima pengetahuan yang diabadikan dalam Mahaa-vaakya (Tat-Twam-Asi) yang muncul dalam enam belas bab dari bagian ke-6 dari Chaandogya Upanishad.
Setelah belajar selama 12 tahun di Gurukula, Shvetaketu kembali ke ayahnya, Uddaalaka putra Aaruni, dan membanggakan pencapaian pendidikannya.
Uddaalaka berkata, “Shvetaketu, berbagai cabang ilmu telah kau kuasai, tetapi apakah kau bisa mendengar Ia yang tak terdengar? Merasakan Ia yang melampaui segala macam rasa? Dan, mengetahui Ia yang berada di atas segala macam pengetahuan? Apakah ilmu itu pun telah kau kuasai?
Shvetaketu baru menyadari bahwa pengetahuannya belum sempurna dan minta ayahnya untuk mengajarinya kebenaran hakiki tersebut. Shvetaketu mohon penjelasan hal tersebut kepada ayahandanya.
Berikut kutipan penjelasan Uddaalaka kepada Shvetaketu dalam buku: (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
“Shvetaketu, berbagai cabang ilmu telah kau kuasai, tetapi apakah kau bisa mendengar Ia yang tak terdengar? Merasakan Ia yang melampaui segala macam rasa? Dan, mengetahui Ia yang berada di atas segala macam pengetahuan? Apakah ilmu itu pun telah kau kuasai?”
Tanah liat di seluruh dunia berada di luar jangkauanmu. Namun, segumpal tanah liat berada dalam jangkauanmu. Dengan mengetahui sifat segumpal itu, kau dapat mengetahui sifat tanah liat secara keseluruhan, secara utuh. Dengan mempelajari sifat benda-benda yang berada dalam jangkauanmu, kau dapat mempelajari sifat Yang Tak Terjangkau.
Tanah liat itu digunakan untuk membuat berbagai macam peralatan, bahkan mainan, patung dan lain sebagainya. Bentuk peralatan dan benda-benda itu memang beda, tetapi intinya satu dan sama, tanah liat. Nama dan sebutan yang kita berikan pada setiap benda beda, namun perbedaan itu pun tidak mempengaruhi inti setiap benda. Walau berbeda bentuk, wujud atau rupa, maupun nama dan sebutannya, bahan dasarnya masih tetap sama, tanah liat.
Contoh lain, emas. Kita menggunakannya untuk membuat berbagai macam perhiasan. Setiap perhiasan beda bentuknya, beda pula sebutannya,namun bahan bakunya tetap satu dan sama. Beda rupa dan nama adalah pemberian manusia; buatan kita. Nama dan rupa berasal dari manusia. Bahan baku bersifat alami. Nama dan rupa berbeda dan dapat berubah. Bahan bakunya tetap sama, tidak ikut berubah.
Shvetaketu, janganlah kau terjebak oleh lembaran kitab. Pengetahuan yang kau peroleh dari kitab hanyalah satu sisi dari dari Pengetahuan Sejati. Keseluruhannya hanya untuk menyadarkan dirimu bahwa masih ada yang jauh lebih tinggi, lebih penting, lebih mulia. Sesuatu yang tak tertuliskan, tak terjelaskan lewat kata-kata. Pengetahuan Sejati adalah Pengetahuan tentang Sifat yang Satu itu. Segala sesuatu dalam alam ini berasal dari Yang Satu Itu.
Untuk memahaminya, pelajarilah dirimu. Shvetaketu, gumpalan tanah liat itu adalah dirimu. Tat Tvam Asi – Itulah Kau. Dengan mempelajari diri yang berada dalam jangkauanmu, kau dapat mengetahui sifat dasar Yang Tak Terjangkau Itu! Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Penghayatan Tat Tvam Asi untuk Melampaui Kesadaran Jasmani
Selama belasan, bahkan puluhan tahun, kita ber-“slogan” One Earth, One Sky, One Humankind—Satu Bumi, Sam Langit, Satu Umat Manusia. Syarat pertama Maitri atau Persahabatan sudah terpenuhi, setidaknya demikian anggapan kita. Tetapi saat menghadapi kenyataan di sekitar kita, di mana si sipit dan si belo dan si bule lebih berhasil dibandingkan dengan kita, maka terlupakanlah slogan yang telah kita ulangi selama bertahun-tahun ini. Muncul rasa iri, cemburu. Kenapa mereka lebih berhasil dibanding kita?
“Love is the Only Solution”—Cinta-Kasih adalah satu-satunya solusi. Syarat kedua Karuna pun rasanya terpenuhi. Tetapi, saat mempraktikkannya? Bagaimana menyikapi seseorang yang tidak memahami bahasa kasih? Apakah mesti mengasihi nyamuk demam berdarah atau anjing gila?
Dengan bekal slogan “Be Joyful and Share Your Joy with Others”—Jadilah Ceria dan Bagilah Keceriaanmu dengan Siapa Saja—rasanya syarat ketiga tentang Mudita terpenuhi. Ya, terpenuhi sebatas slogan. Praktiknya? Apa bisa ceria dan berbagi keceriaan ketika orang yang dibagi keceriaan malah menyerang balik?
SANGAT SULIT MEMPRAKTIKKAN KETIGA LAKU TERSEBUT tanpa terlebih dahulu membebaskan diri dari “pengaruh dualitas”—Upeksa. Untuk itu, kita mesti menembus kesadaran jasmani.
Selama masih berkesadaran jasmani murni, dualitas tidak bisa dilampaui. Dualitas baru bisa dilampaui, baru bisa “mulai” dilampaui pada tataran energi. Energi yang ada di dalam diri saya, yang menghidupi, menggerakkan diri saya adalah sama dengan energi yang ada di dalam dan menggerakkan Anda. Sebatas ini dulu. Landasan energi ini penting. Tidak perlu membahas filsafat yang tinggi. Sederhana dulu.
Dengan memahami hal ini, kita baru bisa mengapresiasi ungkapan Tat Tvam Asi, Itulah Kau; That Thou Art, That You Are! Dan itu pula Aku. That I am.
Kemudian, kedua tangan kita, dengan sendirinya, akan mengambil sikap.
NAMASTE ATAU NAMASKARA MUDRA—Patanjali selalu digambarkan dalam sikap, dalam mudra seperti ini. Kedua tangan tercakup dalam Namaskara.
Ketika kita sedang bersalaman dengan cara itu, boleh mengatakan Namaste, Namaskara, Salam, atau apa saja. Ungkapan di luar boleh apa saja, dalam bahasa mana saja. Tetapi dalam hati, kesadaran kita mestilah berbahasa satu dan sama, berbahasa kesadaran itu sendiri—Kesadaran Tat Tvam Asi.
Namaste, Namaskara, Salam; Tat Tvam Asi, Itulah Engkau—dan pada-Mu Hyang bersemayam di dalam setiap makhluk, kuucapkan salam-hormatku, salam-kasihku. Penjelasan Yoga Sutra Patanjali I.33 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2015). Yoga Sutra Patanjali Bagi Orang Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Tat Tvam Asi, Kesadaran Jiwa sebagai Pemersatu
Selama Jiwa Individu atau Jivatma tidak mengenal hakikat dirinya – ia beranggapan bila dirinya adalah badan, indra, pikiran, perasaan dan sebagainya. Kadang seseorang yang menyatakan, ‘Aku Jiwa, bukan badan’, dan sebagainya pun, masih tetap tidak menyadari hal itu. Ia baru berwacana saja.
Meditator adalah seorang yang menyadari hakikat dirinya. Ia telah menemukan kemuliaan dirinya. Ia melihat dirinya di mana-mana. Tat Tvam Asi – Itulah kau. Kau juga Aku. Aku juga Kau. Dalam kesadaran Jiwa, dan hanyalah dalam kesadaran Jiwa, kita baru bisa bersatu.
Tidak ada satu pun ideologi, kepercayaan, doktrin, atau dogma yang bisa mempersatukan umat manusia, apalagi mempertahankan persatuan dan kesatauan itu – kecuali Kesadaran Jiwa.
Lihat saja nasib lembaga kepercayaan. Kitab sucinya satu dan sama; anutannya satu dan sama; berawal dari satu akar; filsafat dasarnya sama; tapi, tetap saja terpecah-belah. Terbagi dalam sekian banyak mazhab dan sekte. Dan, hal itu memang lumrah, wajar, karena setiap orang bisa menginterpretasikan ajaran yang sama sesuai dengan cara berpikirnya, persepsinya, penghayatan, dan pemahamannya. Penjelasan Bhagavad Gita 9:13 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia