Archive for August, 2018

Mantra Penyelaras Pikiran untuk Melampaui Ego

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on August 29, 2018 by triwidodo

Kisah Guru, Murid dan Mantra

Di balik segala sesuatu ada gerakan, ada getaran. Gerakan dan getaran ini rupanya sinonim. Seseorang yang peka dapat merasakan aliran darah dalam dirinya. la juga dapat merasakan ritme jantungnya, denyutan otaknya. Getaran adalah gerakan, gerakan adalah getaran.

Dan oleh karena itu, kata kata menjadi sangat penting. Setiap kata mengeluarkan getaran tertentu. Getaran tersebut dapat mempengaruhi getaran dalam diri Anda. Selanjutnya dapat menyelaraskan  “gerakan-gerakan” yang tidak selaras, tidak serasi dalam diri Anda. Setiap kata dapat menyelaraskan  “gerakan-gerakan” yang tidak selaras,aliran darah yang terlalu. cepat atau terlalu lamban, detak jantung yang tidak teratur, denyutan otak yang kurang serasi, dan lain sebagainya. 

Getaran getaran yang dikeluarkan oleh suara, oleh kata kata tertentu, tidak hanya mempengaruhi fisik Anda, tetapi juga pikiran dan rasa Anda. Bahkan lingkungan sekitar Anda pun terpengaruh olehnya. Obat obatan atau operasi, tidak dapat melakukan hal itu. Itu sebabnya para mistik jaman dahulu menggunakan mantra.  Getaran getaran yang dikeluarkan oleh suara, oleh kata kata tertentu. Jangan terkecoh oleh sebutan. Mantra berarti mantra atau alat untuk menyelaraskan “man” atau mind manusia. Sangat menarik untuk disimak pula bahwa suku kata “man” ini akan melahirkan kata ‘manusia’ (bahasa Inggris). Manusia adalah makhluk yang memiliki mind. Yang dimaksudkan mungkin, perkembangan mind dalam diri manusia bisa optimal. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Dikisahkan oleh seorang Master tentang seorang murid yang bersemangat untuk memperoleh Pengetahuan Sejati Tertinggi dari Guru Pemandunya. Sang Guru memberinya mantra dan minta Sang Murid membacanya berulang-ulang tanpa keinginan yang egois. Sang Guru mengatakan setelah melakukan selama satu tahun baru datang lagi ke dirinya untuk menerima Pengetahuan Sejati Tertinggi.

Setelah satu tahun Sang Murid menghadap Sang Guru dengan bersemangat. Adalah seorang pelayan yang menyapu ashram yang lalai dan debu hasil sapu mengotori baju dan tubuh Sang Murid setelah dia bersuci. Sang Murid menjadi marah, wajahnya merah dan matanya melotot dan pelayan itu merasa ketakutan. Sang Guru memperhatikan kejadian tersebut dan berkata bahwa Sang Murid belum layak menerima Pengetahuan Sejati Tertinggi, karena marah kepada pelayan yang secara tidak sengaja mengotori tubuhnya. Sang Murid belum memiliki daya tahan dan diminta melakukan sadhana membaca mantra selama satu tahun lagi.

Pada akhir tahun kedua, Sang Murid kembali memasuki ashram dan pelayan yang menyapu ashram diberi instruksi oleh Sang Guru untuk kembali mengotori baju dan tubuh sang murid. Sang Murid akan marah tetapi menahan diri untuk tidak menunjukkan kemarahannya. Sang Guru memperhatikan kejadian tersebut dan berkata bahwa Sang Murid belum layak menerima Pengetahuan Sejati. Tahun lalu Sang Murid menunjukkan kualitas seekor ular dan saat ini kualitas seekor anjing. Sang Murid diminta melakukan sadhana untuk membersihkan diri dari sifat-sifat hewani selama satu tahun lagi.

Pada akhir tahun ketiga, Sang Murid kembali masuk ashram setelah bersuci dan sesuai instruksi Sang Guru, pelayan ashram menyiram Sang Murid dengan air kotor. Sang Murid justru berterima kasih kepada pelayan yang telah melakukan tindakan yang membuat dirinya menjadi sabar dan bijak. Sang Guru datang dan Sang Murid bersujud di hadapan Sang Guru dan Sang Guru berkata bahwa Sang Murid sudah layak menerima Pengetahuan Sejati Tertinggi.

Sang Murid Masih Dikendalikan oleh Panca Indera atau Sudah Mengendalikan Mereka?

Dasharatha adalah Ayahmu! Ia memiliki dasha atau “sepuluh” ratha, atau kereta perang di bawah perintahnya. Yang dimaksud di sini adalah kereta-kereta dari indera serta organ-organ indera Anda sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Inilah potensi Anda. Anda bisa memerintah mereka. Anda bisa mengendalikan mereka. Dengan membiarkan diri Anda terkendalikan oleh mereka, maka sesungguhnya Anda tidak menggunakan potensi Anda sama sekali. Terjemahan bebas dari (Krishna, Anand. (2010). The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Sang Murid telah melampaui Rasa Ego,

 

Menjadi Manusia Universal

Sejak masih bayi, kita mencatat apa saja yang berhubungan dengan diri kita. Ki Ageng Suryometaram mengatakan tugas juru catat itu seperti tanaman yang hanya bisa mencatat, tidak bisa bergerak bebas. Di luar diri otak mencatat dengan bantuan panca indera sedangkan di dalam diri otak mencatat dengan rasa (organ-organ panca indera yang berkaitan dengan pikiran).

Catatan yang jumlahnya berjuta-juta tersebut seperti hidupnya hewan. Hewan bisa bergerak mencari makan sendiri. Makanan catatan tersebut berupa perhatian, bila diperhatikan catatan berkembang subur, bila tidak diberi perhatian catatan akan mati.

Menurut Ki Ageng, setelah catatan itu cukup banyak maka “Kramadangsa” (nama kita sendiri, misalnya Triwidodo) lahir. Kita menganggap diri kita dilengkapi dengan catatan (1)harta milikku, (2)kehormatanku, (3)kekuasaanku, (4)keluargaku, (5)bangsaku, (6)golonganku, (7)jenisku, (8)pengetahuanku, (9)kebatinanku, (10)keahlianku, (11)rasa hidupku. Kita hidup dalam dimensi ketiga, bisa bergerak bebas mencari makan sendiri dan menggunakan pikiran dan rasa. Catatan-catatan inilah asal mula ego.

Catatan-catatan/informasi itu bersifat seperti hewan, bila diganggu marah. Sedangkan Kramadangsa/diri kita sebagai manusia sebelum bertindak atau marah bisa berpikir dahulu. Itulah bedanya hewan yang “fight or flight”, bertarung atau ngacir, sedangkan manusia berpikir dulu sebelum bertindak. Apabila diri kita terlalu terobsesi tentang kekuasaan/jabatan, maka untuk memperoleh peningkatan “catatan jabatan” kita bisa menggunakan segala cara untuk memperoleh jabatan, mengabaikan “catatan kehormatan”, “rasa hidup” dan “kepentingan bangsa”. Artinya pikiran kita kurang jernih.

Apabila pada waktu mencari jabatan aku berpikir, jabatan itu apa? Apakah jabatan itu abadi? Apakah aku akan mencari jabatan dengan mengabaikan hati nurani dan mengorbankan persatuan kebangsaan? Kemudian aku sadar bahwa aku bukanlah kumpulan catatan/informasi tentang jabatanku, kebatinan/hati nuraniku, bangsaku, maka kesadaran naik aku adalah saksi dari catatan/informasi. Dengan melampaui aku sebagai kumpulan catatan/ informasi maka menurut Ki Ageng kita sudah mulai menempuh sebagai Manusia Universal.

 

Pesan Utama Bapak Anand Krishna

Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan” – ini adalah kaidah utama dari semua agama dan kitab suci yang merupakan intisari dari psikologi spiritual transpersonal (melampaui ego pribadi).

Memperdulikan sesama!” Kalimat bijak ini adalah sebuah panggilan terhadap kesadaran kita dari kesadaran personal menuju kesadaran transpersonal (melampaui ego personal, ego pribadi)

Sang Murid Menyadari Identifikasi Dirinya dan layak menerima Pengetahuan dari sang Guru

 

Kesalahan Identifikasi Diri Menyebabkan Keterikatan dan Ego

Pertemuan antara Prakrti Alam Kebendaan dan benih Jiwa Agung atau Purusa itulah yang “menyebabkan” terjadinya alam semesta.

TANTANGANNYA IALAH ketika benih ini bertunas, berkembang, dan menjadi “sesuatu” — maka, apakah sesuatu itu mengidentifikasikan dirinya dengan Alam Kebendaan, Rahim yang melahirkannya, yakni Materi, atau dengan benih Jiwa Agung atau Spirit, Roh? Peran alam kebendaan dan benih Jiwa — dua-duanya sama pentingnya. Tidak ada keraguan atau dua pendapat dalam hal itu. Persoalannya bukanlah mana yang lebih penting. Dua-duanya penting.

Persoalannya adalah identifikasi apa yang dapat membahagiakan kita, dengan alam atau dengan Jiwa? Dan jawabannya jelas adalah identifikasi dengan Jiwa. Karena Jiwa tidak hanya bersifat abadi, tetapi juga tidak pernah berubah. Sehingga dapat menghasilkan kebahagiaan yang langgeng. Sementara, Alam Benda berubah terus. Jika kita fokus pada perubahan-perubahan yang terjadi, maka emosi kita, pikiran kita — semuanya ikut mengalami perubahan-perubahan yang kadang mernbuat kita bahagia, kadang larut dalam lautan kesedihan dan kepedihan. Penjelasan Bhagavad Gita 14:3 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia lewat #BhagavadGitaIndonesia

Menemukan Kesadaran dengan Mendengar Sepenuh Hati

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on August 28, 2018 by triwidodo

Kisah Sang Bijak dan Menteri Raja

Dikisahkan oleh seorang Master tentang seorang bijak menemui Raja yang sedang duduk bersama para menteri, para pakar dan seniman. Sang Raja menghormati Sang Bijak dan mengucapkan terima kasih karena telah berkenan mengunjungi istana. Sang Bijak berkata bahwa dia mendengar bahwa Sang Raja dan Para Pejabatnya terkenal karena kebijaksanaannya. Sang Bijak berkata bahwa dia membawa 3 boneka dan ingin Menteri Sang Raja memberi penilaian dan evaluasi terhadap ketiga boneka tersebut.

Sang Raja menerima 3 boneka dari Sang Bijak dan memanggil Menteri Senior untuk melakukan penilaian dan evaluasi. Sang Menteri Senior  meminta seorang stafnya untuk mengambil 3 potong kawat baja tipis. Raja dan Para Pejabat penuh semangat memperhatikan apa yang dikerjakan Sang Menteri Senior.

Sang Menteri memasukkan kawat ke telinga kanan boneka pertama dan kawat itu menembus keluar dari telinga kiri. Kemudian, Sang Menteri memasukkan kawat ke telinga boneka kedua  dan kawat menembus keluar dari mulut boneka. Selanjutnya, Sang Menteri memasukkan kawat ke telinga boneka ketiga, tapi kawat tersebut tidak menembus ke luar baik di telinga lainnya maupun mulut boneka.

Sang Menteri berkata kepada Sang Bijak bahwa adalah boneka ketiga yang terbaik. Ketiga boneka itu adalah simbol dari tiga tipe pendengar. Tipe pertama mendengarkan setiap kata hanya untuk disampaikan kepada telinga yang lain. Tipe kedua mendengar dengan baik, mengingatnya dengan baik hanya untuk mengatakan semua apa yang dia dengar. Tipe ketiga mendengarkan dan mempertahankan semua yang mereka dengar dan menyimpannya dalam hati mereka.  Tipe ketiga adalah tipe pendengar terbaik. Sang Bijak tersenyum dan menyampaikan apresiasi kepada Sang Raja dan Para Menteri, selanjutnya memberkati mereka dan meninggalkan istana.

Shravanam (mendengar dengan penuh perhatian terhadap nasehat bijak) adalah yang pertama dan terdepan di antara sembilan tipe devosi. Setelah mendengar kata-kata bijak, kita harus mencoba menggali makna dan pesan mereka di dalam pikiran kita dan mempraktekannya.

Dalam Srimad Bhagavatam disebutkan macam-macam Devosi 1. Shravana (Mendengarkan Kisah Ilahi). 2. Kirtana (menyanyikan lagu-lagu Ilahi). 3. Smarana (mengingat Tuhan berulang-ulang). 4. Padasevana (berserah diri pada Ilahi). 5. Archana (melakukan persembahan bagi Tuhan). 6. Vandana (menghormati Tuhan dan setiap wujud Tuhan). 7. Dasya (melayani Tuhan). Bila ke 7 Devosi telah dilakukan akan sampai pada tingkatan 8. Sakhya (suka atau tidak suka sesuai kehendak Tuhan) dan 9. Nivedana (menganggap dirinya sebagai persembahan).

 

Jadilah Pendengar yang Baik Jangan Terlalu Banyak Bicara

Jadilah seorang pendengar yang baik! Selama ini kita terlalu banyak bicara. Energi kita mengalir ke luar terus-menerus. Memperhatikan orang lain melulu, sehingga diri sendiri tidak terurus, sehingga suara nurani dan ilham pun tak terdengar. Kita lupa meniti jalan ke dalam diri. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2002). Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama)

Dengarlah lebih banyak, berbicara lebih sedikit. Anatomi tubuh Anda membuktikan hal ini. Anda mempunyai dua telinga, dan hanya satu mulut. Kita tidak mempunyai satu telinga di tengah wajah kita dan dua mulut di samping. Bayangkan apabila demikian, betapa lucunya kita! Lagi pula fakta-fakta berikut ini patut kita perhatikan: telinga tidak punya penutup dan sebelum kita berbicara, kata-kata kita harus melewati dua pagar yaitu gigi kita dan bibir kita. Jadi, sebelum berbicara seyogyanya kita pikirkan dulu dua kali. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2002). Bersama J.P Vaswani, Hidup Damai & Ceria. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Kesadaran untuk Mendengar, Memahami dan Menemukan Kesadaran

Abu Bakar mendengar suara Muhammad, dan memahaminya, maka dia menemukan Kebenaran. Abu Jahl juga mendengar suara Muhammad, tetapi tidak memahaminya, maka dia tidak menemukan kebenaran, padahal sudah ratusan tanda yang diperlihatkan kepadanya. Demikianlah manusia. Kita hanya mendengarkan apa yang ingin kita dengarkan. Kalau sudah tidak “sreg” dengan seseorang, apa pun yang dia katakan akan kita salahpahami. Sedikit-sedikit, kita akan tersinggung. Sebaliknya, kalau “sreg” dengan seseorang, apa pun yang dia katakan akan kita terima.

Dalam hal berhadapan dengan seorang nabi, seorang avatar, seorang buddha, atau seorang mesias, ke-“sreg”-an yang dibutuhkan adalah kesadaran. Tanpa kesadaran, kita tidak bisa memahami mereka. Kesadaran bahwa diri kita sakit dan membutuhkan dokter-itu saja sudah cukup. Ya, kesadaran secuil itu, sebatas itu pun sudah cukup. Masalahnya, kita sama sekali tidak memiliki kesadaran. Sudah lama menderita, sudah terbiasa hidup dengan rasa sakit, itu yang menjadi masalah. Begitu sadar bahwa diri anda sakit, jangan menunggu lama. Cepat-cepat carilah seorang dokter. Biarkan dia mengobati anda. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2000). Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Mempraktekkan Apa yang Telah Didengar dan Dipahami

Sekadar pemahaman tidak akan membantu kita. Tidak akan terjadi perkembangan jiwa dalam diri kita. Sekadar pemahaman bahkan bisa mengelabui kita. Kita pikir sudah paham, ya sudah cukup, lantas kita duduk diam kita lupa melakoni apa yang kita pahami. Sekadar pemahaman sangat berbahaya, karena kita bisa tertipu olehnya. Pemahaman tanpa laku, tanpa penghayatan, tidak bermakna sama sekali, tidak berarti sama sekali. Apa yang kita baca, apa yang kita pahami, harus kita lakoni pula. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2002). Bersama J.P Vaswani, Hidup Damai & Ceria. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Kembangkan Sistem Penyaring dalam Diri Kita

Pesan untuk mendisiplinkan pendengaran kita, “Jangan mendengar yang buruk”. Tentu saja kita tidak dapat menutup telinga kita. Suka atau tidak, kita tetap harus hidup di dunia ini dengan telinga kita dalam keadaan terbuka. Dan bersama dengan hal-hal yang baik, tidak terelakkan telinga kita akan mendengar hal-hal yang buruk juga.

Apa yang mesti kita lakukan jika demikian? Kembangkanlah sistem penyaring di dalam diri, sehingga kita tidak harus “menyimak” apa yang kita dengar. Biarkan telinga kita mendengar karena itu memang tugasnya. Kita tidak bisa menghentikan mereka menjalankan tugas mereka. Namun, jiwa kita dapat memutuskan apa yang harus kita simak dengan seksama. Terjemahan dari buku (Krishna, Anand. (2010). The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Mendengarkan Orang yang Kita Yakini sebagai Pembawa Pesan Ilahi

Hanuman adalah pendengar yang baik, yang penuh perhatian, selalu bersemangat untuk mendengarkan Sri Rama. Tergantung dari apa yang Anda dengarkan, Anda bisa belajar tentang perdagangan, Anda dapat menguasai bidang tersebut. Hanuman tengah mendengarkan Rama, dan kisah-kisah tentang Rama. Ia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diwakili oleh Rama. Maka pantaslah jika ia pada akhirnya bersatu dengan keluhuran yang ia agungkan, dengan Rama.

Inilah hukum timbal-balik yang sederhana. Jika Anda mencintai seseorang dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa Anda, maka orang tersebut pasti akan membalas cinta Anda. Jika Anda tetap teguh dan tidak mudah patah semangat, serta berupaya mempertahankan intensitas cinta Anda—maka Anda dapat memenangkan hati siapa saja. Hanuman memenangkan hati Rama, Laksmana, dan Sita dengan cinta. Rama mewakili Yang Maha Luas, Yang Senantiasa Meluas, Tuhan yang bersemayam di hati semua makhluk. Rama adalah Yang Maha Besar, Anda bisa menyebutNya Allah, Buddha, Jehovah, Satnaam, apa saja. Rama adalah kesadaran murni. Sita, istri Rama, mewakili bumi, atau dunia benda. Ini adalah makna harfiah dari namanya. Sita mengingatkan kita untuk tetap membumi di dunia benda ini. Terjemahan dari buku (Krishna, Anand. (2010). The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Wujud Murshid Sebagai Gerbang Masuk Keilahian

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on August 27, 2018 by triwidodo

Kisah Raja Janaka Berguru pada Pemuda Ashtavakra

Dikisahkan oleh seorang Master tentang Raja Janaka yang membuat pengumuman kepada para Sarjana, Ahli Kitab, Yogi, Mahatma, Maharishi atau Orang Bijak di kerajaannya untuk datang dan mengajarkan mengenai Atma kepada Sang Raja. Sang Raja berharap untuk mencapai Atma Jnana, Pengetahuan tentang Diri Sejati sesaat setelah memperoleh instruksi yang benar. Jika orang yang mengajari Sang Raja tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan Sang Raja, maka Sang Raja tidak akan mau lagi melihat orang tersebut. Semua orang menjadi takut dengan resiko tersebut, dan ini merupakan ujian yang sangat berat bagi mereka.

Pemuda Ashtavakra sedang dalam perjalanan ke ibukota Mithilapura, tempat Raja Janaka memerintah, kala melihat para sarjana sedang tampak gelisah dan sedih. Ashtavakra bertanya dan mereka menjelaskan tentang pengumuman Raja Janaka yang menggelisahkan mereka. Ashtavakra menghadap Raja Janaka dan berkata kepada Sang Raja bahwa dia siap memberikan pengetahuan tentang Atma seperti yang raja harapkan. Ashtavakra mengatakan bahwa pekerjaan tersebut tidak mudah dan harus ke luar dari istana yang penuh dengan Rajo Guna dan Tamo Guna, ke tempat yang dipengaruhi Sattva Murni. Sang Raja mengikuti Ashtavakra masuk hutan. para prajurit yang mengawal Sang Raja di tinggal di luar hutan.

Ashtavakra menyampaikan kepada Sang Raja bahwa walaupun ia seorang pemuda dia adalah pemandu sedangkan Sang Raja adalah sebagai murid. Setelah Sang Raja menyetujuinya, Ashtavakra minta Sang Raja mempersembahkan Guru Daksina, persembahan Murid kepada Guru. Kembali Sang Raja menyetujuinya dan Ashtavakra tidak minta barang-barang apa pun kecuali Mind Sang Raja yang harus diserahkan kepadanya. Sang Raja menyetujuinya.

Janaka disuruh turun dari kudanya, membawanya ke tengah jalan dan Janaka diminta duduk. Ashtavakra kemudian pergi ke tengah hutan, duduk santai di bawah pohon. Para pengawal raja yang menunggu lama tidak sabar dan mulai menyebar mencari keberadaan Sang Raja. Mereka menemukan Sang Raja duduk di tengah jalan dengan kuda yang berdiri di depannya. Melihat Sang Raja tidak bergerak mereka mengirim utusan untuk memanggil Perdana Menteri.

Perdana Menteri datang dan mencoba membangunkan Sang Raja, tetapi Sang Raja tetap tidak bergerak. Kejadian ini membuat semua pejabat kerajaan ketakutan dan mereka mengirim utusan untuk memanggil permaisuri. Permaisuri datang dengan kereta dan mencoba membangunkan Sang Raja dengan membawa makanan dan minuman yang disukai Sang Raja. Akan tetapi Sang Raja tetap tidak bergerak. mereka berpikir tentang apa yang telah diperbuat Pemuda Ashtavakra terhadap Sang Raja. Para prajurit kemudian menyebar mencari Ashtavakra dan ketemu sedang santai di bawah pohon. mereka minta Ashtavakra pergi ke tempat Sang Raja.

Ashtavakra berkata, “Bangunlah Raja!” Dan, anehnya Sang Raja langsung membuka mata dan berkata, “Siap Swami!” Ashtavakra bertanya, “Para Prajurit, Pendeta, Perdana Menteri, bahkan Permaisuri mohon agar Raja bangun, mengapa Raja tidak membalas permohonan mereka?” Janaka menjawab, “Mind saya sudah saya persembahkan kepada Swami. Pikiran, Ucapan dan Tindakan berhubungan dengan Mind. Apa kewenangan saya untuk menggunakan Pikiran, Ucapan dan Tindakan kepada mereka tanpa izin Swami?” Ashtavakra kemudian berkata, “Raja telah mencapai tingkat Kesadaran Ilahi.”

Begitu seseorang telah mempersembahkan Mind: Pikiran, Ucapan dan Tindakannya, maka dia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan apa pun tanpa izin dari orang yang yang dia sebagai pemandunya. Para Pemandu pun sudah mempersembahkan Mind mereka kepada Gusti Pangeran. Apa yang dilakukan Para Pemandu adalah Kehendak-Nya bukan kehendak pribadinya.

 

Ashtavakra mengajari Raja Janaka tidak menggunakan mind pribadinya,

Guru Tidak Menggunakan Mind, Hanya Menyampaikan Apa yang Terdengar lewat Nurani

Jangan berguru pada mereka yang hanya menggunakan logika dan matematika. Mereka bisa menjadi pengajar, pendidik, tetapi tidak dapat jadi Master. Mereka bukan guru. Seorang guru tidak lagi menggunakan pikirannya. Ia hanya menyampaikan apa terdengar lewat nuraninya, yang selalu dalam keadaan mawas diri, yang dianugerahi dengan wahyu Allah – hanya merekalah yang pantas disebut Guru, disebut Master, disebut Murshid, Mustafa. Yang lain hanyalah pengajar biasa, hanya pendidik biasa, hanya ustad biasa. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (1999). Wedhatama Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Kepatuhan Raja Janaka pada Ashtavakra membuka gerbang untuk memasuki Tuhan,

Wujud Murshid sebagai Gerbang untuk Memasuki Tuhan

Para sufi menggunakan “wujud” murshid sebagai gerbang untuk memasuki Tuhan. Ketika Yesus menyatakan diri sebagai pintu u ntuk memasuki Kerajaan Allah, maksudnya ya itu. Para lama di Tibet melakukan Guru Pooja, penghormatan khusus terhadap para guru. Begitu pula dengan para “pencari” di dataran India. Lewat Guru Bhakti atau cinta tak bersyarat dan tak terbatas terhadap seorang guru, mereka menemukan cinta yang sama di dalam diri mereka masing-masing. Seorang guru tidak membutuhkan puja dan bakti. Dia justru memberikan kesempatan bagi perkembangan puja dan bhakti di dalam diri kita masing-masing. Puja dan bakti terhadap seorang guru tidak berarti mencium kaki atau tangannya. Puja dan bakti semata-mata untuk mendekatkan diri kita dengan Ia yang bersemayam di dalam setiap makhluk. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Raja Janaka patuh, trust kepada Ashtavakra, Sang Murshid,

Tradisi Sungkem pada Guru

Kita lupa tradisi kuno di mana seorang murid melakukan sungkem atau mencium tangan seorang Guru. Kedua gerakan itu sarat dengan makna. Dengan itu mau diungkapkan, “Sekarang kutundukkan kepalaku, egoku, pengetahuan yang telah kuperoleh selama ini. Kubuangkan semuanya, karena semua itu tidak membantuku. Wahai Guru, sekarang aku datang ke padepokanmu; ajarilah aku yang masih bodoh ini.” Saat mencium tangan seorang murshid kita menyatakan kepercayaan kita; trust kita terhadap segala karyanya. Tanpa trust, tanpa kepercayaan, kita tidak bisa berguru. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2007). Life Workbook Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Aku Raja Janaka tidak eksis lagi, rohnya adalah Jiwa Ashtavakra

“Aku” sudah tidak eksis, tidak ada. Sekarang, rohku adalah jiwa-Mu, Murshid, Master, Guru. (Dan pada saat itulah terjadi transmission, shaktipaat. Terjadi loncatan kuantum. Dalam sekejap, sang Murid memperoleh apa yang dimiliki oleh gurunya. Ia “ketularan” kesadaran Sang Murshid. Untuk itu, seorang murshid menggunakan berbagai cara untuk mengikis ego para muridnya. Kita melihat seorang Murid mencium kaki murshidnya, dan langsung berang: “Apaan tuh, masak seorang guru dikultuskan”. Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi pada saat-saat seperti itu. Kita tidak sadar bahwa kegerahan kita hanya membuktikan betapa kuatnya ego kita. Kita sendiri belum “mampu” menundukkan kepala. Ya tak apa. Tetapi, apa hak kita untuk mengomentari mereka yang sudah “mampu” melakukannya”). Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2003). Vadan Simfoni Ilahi Hazrat Inayat Khan. Jakarta: Gramedia Pustaka)

 

Para Master Berjalan di Atas Samudra Kehidupan, Jangan Lewatkan Kesempatan!

Ajari aku cara berjalan di atas samudra kehidupan, O Tuhan. (Sang Maestro tidak ingin belajar. Ia tidak perlu “lagi” menyelami hidup. Berlayar dan penyelaman sudah pernah ia lakukan, entah berapa kali. Sekarang sudah tidak usah. Ia ingin berjalan diatas permukannya. Dan, sesungguhnya para wali, nabi, mesias, avatar, Buddha, murshid, memang hanya berjalan di atas permukaan hidup. Dunia, keduniawian, hidup dan kehidupan tidak membasahi jubah mereka. Mereka melewati pesta raya kehidupan. Keberadaan mereka disini hanya untuk sesaat. Oleh karena itu, saya tidak pernah berhenti meneriaki anda, bila bertemu dengan mereka, jangan menyia-nyiakan waktu. Berjalanlah bersama mereka. Bertekuk-lututlah untuk menghormati mereka. Cium tangan mereka. Kesempatan seperti itu datang hanya satu kali dalam satu masa kehidupan. Bila terlewatkan, ya sudah). Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2003). Vadan Simfoni Ilahi Hazrat Inayat Khan. Jakarta: Gramedia Pustaka)

Bhakti Memenggal Keunikan Diri untuk Larut Dalam Pengabdian

Posted in Inspirasi Rohani with tags , on August 26, 2018 by triwidodo

Kisah Bhakta dan Gurunya, Bhaktimu Melebihi Shaktiku

Dikisahkan oleh seorang Master tentang seorang bhakta bernama Thangalur yang tinggal di India Selatan. Bhakta tersebut mendengar tentang keagungan Orang Suci Appar, dan menunjukkan penghormatan dia kepada Sang Suci.  Dia membangun rumah peristiragatan atas nama Swami Appar, menamai anak-anaknya dengan Appar agar bisa berkembang dalam kemuliaan Sang Suci. Dia menyumbangkan tanah dan rumah atas nama Orang Suci tersebut.

Pada suatu hari, secara kebetulan, Swami Appar masuk ke desanya Thangalur. Dia memperhatikan di mana-mana ada Restoran, Rumah Sakit, Sumbangan dari Swami Appar. Swami Appar bertanya-tanya bagaimana namanya bisa menjadi terkenal sebagai penyokong dana kemanusiaan bagi masyarakat. Bhakta tersebut berlari-lari ke arah Sang Guru dan memohon datang ke rumahnya untuk hadir pada pesta besar di rumahnya.

Ketika putra tertuanya pergi ke kebun mengambil beberapa daun pisang untuk persiapan makan malam, seekor ular menggigitnya sehingga dia meninggal. Namun Sang Bhakta tidak terpengaruh, dia hanya menutupi mayat anaknya dengan daun-daun kering di atasnya dan akan diproses upacara kematiannya setelah Sang Guru pergi. Sang Bhakta tidak terpengaruh dan melanjutkan keramahan seorang murid terhadap Guru yang baru sekali ini mampir ke rumahnya.

Sang Guru minta agar semua anak-anak Sang Bhakta dipanggil semuanya untuk makan bersama Sang Guru. Sang Bhakta melakukan perintah Sang Guru dan memanggil nama semua putra-putranya. Semua putra-putranya hadir termasuk putra sulung ang telah meninggal digigit ular. Sang Bhakta kemudian menceritakan apa yang dialami sang putra sulungnya. Ketika Swami Appar tahu apa yang telah terjadi, Beliau mengatakan, “Bhaktimu lebih besar dari Shaktiku!”

Gusti Yesus berkata kepada orang buta yang disembuhkan matanya, “Adalah imanmu yang menyelamatkan dirimu!”

Bhakti Seorang Pelayan dari Pelayan Tuhan

Diambil dari A Course in Spirituality Part 3 This is Love Video Youtube By Anand Krishna

Apa yang kau ketahui tentang bhakti? Apa yang kau ketahui tentang cinta? Ini bukan untuk kamu. Kamu tidak dapat membudakkan diri. Dan bhakti adalah membudakkan diri dengan sukarela. Dasanudas, saya adalah pelayan dari pelayan. Saya melayani pelayan Tuhan.

Bagaimana kau dapat melakoninya? Semakin cendekia kau, semakin kau meditasi dan yoga, berupaya berdiri dengan kepala di bawah. Kau merasa dapat mencapai moksha. Kau tidak mengerti bahasa ini. Bahasa ini bukan untukmu. Kamu tidak dapat memahami. Cinta adalah terlalu berharga, terlalu mahal.

Apabila kamu ingin belajar cinta. Apabila kamu ingin bisnis di sini. Kamu tidak dapat menggunakan euro, tidak dapat menggunakan dollars. Kamu tidak dapat menggunakan swiss frank. Mereka tidak dapat menggunakan british pounds. Mata uang yang diakui adalah kepalamu. Kamu harus memenggal kepalamu. Dan menyerahkannya kepada kekasihmu. Hanya dengan demikian kau dapat memperoleh cinta sebagai kembalian. Apa yang kau ketahui tentang cinta?………………… INI ADALAH BHAKTI.

Uddhava kau bilang kau mempunyai keluarga dan kau berupaya seimbang. Berdoa saat kamu berdoa. Hadir di tengah keluarga. Kau dapat berdoa sekian kali sehari. Setiap waktu 15 menit. Kau bersujud selama 15 menit dan kemudian hidup seperti biasanya (masih ada ego di sini). Di sini setiap saat, setiap detik, kita bersujud. Kita tidak punya waktu untuk berdiri (tanpa ego).

Sangat-sangat dalam artinya. Tidak berarti kau berhenti makan berhenti bicara. Apa pun yang kau kerjakan dalam hidup ini. Dengan spirit, bukan saya bukan saya bukan saya (tidak ada ego), idam na mama semua persembahan…….

 

Keunikan Diri Setiap Orang

Keunikan setiap orang merupakan akibat dari perbuatannya di masa lalu yang telah berubah menjadi sifatnya. Obsesi dari masa lalu; ingatan atau memori dari masa lalu; hubungan atau relasi dari masa lalu – semuanya itu membentuk pribadi yang unik. Oleh karena itu setiap orang memang unik adanya. Cara dia menempuh perjalanan hidup; cara dia merespon terhadap tantangan hidup – semuanya unik.

Keunikan manusia ini terjamin sepenuhnya oleh hukum karma, hukum evolusi, dan hukum-hukum lainnya. Tapi keunikan ini pula yang menciptakan ego pribadi. Ego dalam pengertian “aku”. Selama kita masih berada dalam wilayah hukum karma, keunikan kita adalah jati diri kita. Keunikan ini diterima oleh para psikolog modern sehingga mereka akan selalu menganjurkan supaya kita tidak melepaskan ego kita. Ego yang unik ini adalah jati diri kita. Ada kalanya, ego ini bersifat liar – maka diciptakanlah syariat  atau dharma untuk menjinakkan  ego-ego yang masih liar dan berbisa.

Keunikan manusia adalah sangat manusiawi. Tetapi, itu bukanlah monopoli manusia saja. Hewan pun unik. Tanaman dan pepohonan adalah unik. Bukit, gunung, kali sungai – semuanya unik. Madam Katrina dan Ni Made Tsunami adalah unik. Kamu unik. Aku unik. Dia unik……… dikutip dari Secangkir Kopi Kesadaran dari The Torchbearers Newsletter 1/2008.

 

Bhakti Merampas Keunikan Diri Kita

 

Tetapi, kemudian hadirlah seorang Krishna di depan kita yang secara jelas dan tegas mengajak kita untuk menyerahkan ego kita sepenuhnya untuk melepaskan keunikan kita sepenuhnya. Ajakan dia sungguh berat sekali untuk diikuti dan sangat membingungkan. Krishna berada di satu pihak, seorang diri – dengan ajakannya yang tidak masuk akal. Di pihak lain adalah para cendekiawan, ilmuwan, psikolog yang semuanya masuk akal. Dan mereka menasehati kita, berhati-hatilah dengan Krishna. Dia akan merampas segala-galanya darimu! Sebab itu, hanyalah para Gopal dan Gopi yang akan mendekati Krishna. Mereka tidak peduli dengan keunikan mereka. Karena, seunik apapun diri mereka – tokh hanyalah got, kali, dan sungai. Mereka telah menyaksikan luasnya lautan Kasih Krishna. Apa gunanya mempertahankan keunikan diri lagi? Setiap manusia memang unik. Kemudian, manusia-manusia yang telah menyaksikan yang telah menyaksikan kemulian-Nya memutuskan untuk melepaskan keunikan mereka masing-masing dan berbhakti pada Hyang Mulia. Bhakti merampas segala keunikan kita. Seluruh kepribadian kita larut dalam bhakti.

Seperti yang dikatakan oleh Shri Rama Krishna Paramhansa, mereka hidup di tengah keluarga mereka tetapi hati mereka berada di tepi sungai Yamuna di mana Krishna sedang memainkan serulingnya…….. Keadaan kita terbalik, badan kita bersama Guru, dekat sekali – tetapi hati kita, seperti yang dikatakan oleh Yogananda, ada di Starbuck……………. dikutip dari Secangkir Kopi Kesadaran dari The Torchbearers Newsletter 1/2008.

Berkarya dengan Semangat Persembahan

Posted in Inspirasi Rohani with tags , on August 23, 2018 by triwidodo

Kisah Buddha dengan Maharaja dan Perempuan Tua

Kisah seorang Master: Buddha terbiasa membawa gendang kecil dan para murid pernah bertanya mengapa Gurunya selalu membawa gendang kecil di sisinya. Buddha menjawab bahwa dia akan menabuh gendang pada hari orang memberikan persembahan terbesar kepada Beliau.

Setiap orang bersemangat untuk mengetahui siapa orang yang akan melakukan persembahan tersebut. Seorang Maharaja berniat mencapai kriteria tersebut dan datang dengan gajah-gajahnya membawa banyak harta kekayaan untuk dipersembahkan kepada Buddha. Sang Maharaja berharap Sang Buddha akan menabuh gendang kecil beliau.

Dalam perjalanan, seorang perempuan tua menghadap Sang Maharaja dan menyampaikan bahwa dia kelaparan dan mohon Sang Maharaja memberikan makanan kepadanya. Sang Maharaja mengambil buah delima dan memberikannya kepada perempuan tua tersebut. Perempuan tua itu juga datang ke Buddha dengan membawa buah delima tersebut.

Sang Maharaja mempersembahkan kepada Sang Buddha harta kekayaan yang dibawa gajah-gajahnya dan kemudian menunggu apakah Sang Buddha akan menabuh gendang kecilnya. Tetapi Sang Buddha tidak menabuh gendangnya dan Sang Maharaja tetap tinggal bersama banyak tamu di hadapan Sang Buddha.

Perempuan tua itu kemudian berdiri dan menawarkan buah delima kepada Sang Buddha. Sang Buddha langsung mengambilnya dan menabuh gendang kecil di sampingnya.

Sang Maharaja bertanya kepada Sang Buddha bahwa dia telah mempersembahkan banyak harta kekayaan tetapi Sang Buddha tidak menabuh gendangnya. Sedangkan saat Sang Buddha menerima sekadar buah delima, Beliau langsung menabuh gendang. Sang Maharaja bertanya apakah itu sebuah persembahan besar?

Sang Buddha menjawab, bahwa dalam persembahan itu yang dipertimbangkan bukan kuantitasnya akan tetapi kualitas dari persembahan. Adalah wajar bagi seorang maharaja mempersembahkan emas. Tetapi perempuan tua tersebut mempersembahkan buah delima kepada Guru meskipun dia sendiri menderita kelaparan. Dia bahkan tidak mempedulikan hidupnya dan mempersembahkan buah tersebut. Persembahan sejati berarti mempersembahkan apa yang paling dicintainya, apa yang paling dihargainya.

Sang Maharaja sadar bahwa dia melakukan persembahan demi sebuah pujian, adalah ego dirinya yang  menjiwai persembahan bukannya aroma kasih.

Perempuan tua itu tidak mengharapkan sesuatu dari Sang Guru, keinginan dia adalah untuk memberi saja. Sedangkan, Sang Maharaja memberi dengan mengharapkan mendapat pujian dari Sang Guru.

Persembahan Penuh Kasih

“Persembahan penuh kasih, penuh devosi seorang panembah – entah itu sehelai daun, sekuntum bunga, buah, ataupun sekadar air – niscayalah Ku-terima dengan penuh kasih pula.” Bhagavad Gita 9:26

Persembahkanlah daun lembaran kehidupan kita dari hari ke hari – setiap hari. Berkaryalah dengan semangat panembahan.

Layani keluarga; perusahaan tempat kita bekerja, masyarakat – layani semua dengan penuh kasih, dengan melihat wajah-Nya yang berada di balik setiap wajah.

Persembahkanlah Bunga Hati yang telah mekar, yang indah, tidak layu. Persembahkanlah kasih yang senantiasa baru, dinamis, segar. Tidak basi.

Dan, persembahkanlah Buah Perbuatan, ‘Apa pun yang kulakukan Gusti, adalah persembahanku yang hina dan dina bagi-Mu. Terimalah Tuhan-Ku’.

Persembahkanlah Air Perasaan yang terdalam. Perasaan terdalam itulah sumber kasih, cinta. Cair, mengalir terus, bersih, jernih. Itulah Jiwa. Persembahan ‘diri’ kepada Sang Pribadi Agung. Persembahkanlah Jiwa kepada Jiwa Agung.

…………………

Di balik semua itu, adalah semangat panembahan yang penting. Adakah kasih yang mengiringi doa persembahan kita? Adakah cinta yang melubar saat kita memuji-Nya? Ini yang penting. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

 

Persembahan dengan Semangat Manembah

“Manusia terikat oleh dan karena perbuatannya sendiri, kecuali jika ia berbuat dengan semangat manembah. Sebab itu, Kaunteya (Arjuna, Putra Kunti), laksanakanlah tugasmu dengan baik, tanpa keterikatan, dan dengan semangat manembah.” Bhagavad Gita 3:9

Setiap pekerjaan sudah pasti memiliki konsekuensi. Ada yang berkonsekuensi baik, ada yang kurang baik, dan ada yang tidak baik. Sehlngga, klta semua tldak bisa bebas dan konsekuensi perbuatan kita rnasing-masing, kecuali…. Dan “kecuali” ini adalah “kecuali yang membebaskan kita dari segala konsekuensi”, yakni………

BERBUAT DENGAN SEMANGAT MANEMBAH – Haturkan segala pekerjaanmu sebagai persembahan pada Gusti Pangeran. Bertindaklah karena cintamu, kasihmu pada-Nya.

Dengan cara itu;

Pertama, perbuatan kita menjadi baik dan tepat dengan sendirinya. Apakah kita mau menghaturkan sesuatu yang tidak baik kepada Hyang kita cintai? Mustahil.

Kedua, kita menjadi efisien. Tidak membuang waktu. Ingat saat kita berpacaran, bagaimana menjadi tepat waktu. Pertemuan dengan si doi menjadi urusan utama, prioritas utama. Berpacaranlah dengan Gusti Pangeran. Pacar-pacar Iain akan meninggalkan kita, cinta kita hanyalah berlanjut selama satu atau beberapa musim saja. Sementara itu, cinta Gusti Pangeran ibarat arak yang tambah lama, tambah memabukkan.

Ketiga, ketika kita betul-betul mencintai seseorang, kita tidak mengharapkan sesuatu. Keinginan kita adalah untuk memberi saja. Barangkali kaum Adam sulit rnemahami hal ini. Kaum Hawa lebih memahaminya. Sebab itu, dalam hal menjalin hubungan dengan Gusti, jadilah seperti seorang perempuan, memberi, memberi, dan memberi.

Inilah cinta sejati. Inilah berkarya tanpa keterikatan pada hasil, tanpa pamrih. Inilah Karma Yoga. Dan, ini pula bhakti — panembahan yang sesungguhnya.

 

Sang Pencipta Menciptakan Umat Manusia dengan Semangat Persembahan

“Prajapati Brahma – Sang Pencipta dan Penguasa makhluk-makhluk ciptaannya – menciptakan umat manusia dengan semangat persembahan dan pesannya ialah, “Berkembanglah dengan cara yang sama (berkarya dengan semangat persembahan) dan raihlah segala kenikmatan yang kau dambakan.” Bhagavad Gita 3:10

Penciptaan terjadi ketika Hyang Tunggal berkehendak untuk “menjadi banyak”. Selama masih tunggal, tanpa dualitas, penciptaan tidak mungkin. Berarti,

BRAHMA, SANG PENCIPTA ADALAH PRODUK DUALITAS – Anda dan saya, kita semua adalah produk dualitas pula. Kita lahir, hidup berkarya, dan mati dalam kesadaran dualitas. Kemanunggalan adalah hakikat kita, ya, tapi, saat ini kita tidak manunggal lagi. Saat ini kita terpisah, atau setidaknya “merasa” berpisah dari Hyang Tunggal. Maka kita mesti mengupayakannya kembali.

BAGAIMANA CARANYA? Sang Pencipta telah memberikan clue, isyarat. Yaitu, dengan berkarya dengan semangat pesembahan. Ia mengatakan kepada makhluk-makhluk ciptaannya, kepada manusia, “Aku pun demikian. Aku pun menciptakan semua dengan semangat persembahan, dengan semangat melayani.”

Dengan cara itulah, kita baru bisa mengikis ego kita, tidak membiarkannya meraja. Idam na mama – bukan aku, bukan ego-ku, bukan indra, bukan gugusan pikiran dan perasaan, bukan intelegensia – aku adalah Jiwa, percikan Sang Jiwa Agung. Segala apa yang terjadi lewat badan, indra, dan lainnya adalah persembahan pada-Nya.

Selain membebaskan kita dari ego, keangkuhan, semangat manembah juga memastikan bahwa apa pun yang kita perbuat adalah yang terbaik. Persembahan yang dihaturkan kepada Sang Kekasih Agung, Gusti Pangeran, mestilah yang terbaik. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Nafsu Keinginan Menutupi Kesucian Diri

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on August 22, 2018 by triwidodo

Kisah Pelukis dan Sri Krishna

Seorang Master berkisah tentang seorang pelukis berbakat yang ingin melukis wajah Sri Krishna. Pelukis tersebut datang ke Sri Krishna dan ingin melukis-Nya dan Sri Krishna menyetujuinya. Pelukis itu mohon Sri Krishna berkenan duduk selama 1 jam dengan posisi yang sama untuk mengambil sketsa garis besar wajahnya. Setelah selesai membuat sketsa, pelukis tersebut bersujud di kaki Sri Krishna dan berkata bahwa besok pagi dia akan menunjukkan hasil lukisannya.

Sepanjang malam, Sang Pelukis bekerja tanpa kenal lelah melukiskan wajah Sri Krishna secara akurat. Esoknya Sang Pelukis membungkus lukisannya dengan kain dan membawanya ke hadapan Sri Krishna. Akan tetapi saat kain pembungkus itu dibuka, terlihat bahwa dalam 24 jam wujud Sri Krishna telah mengalami perubahan. Krishna melihat hasil lukisannya dan mengatakan bahwa lukisan itu tidak mirip dengannya. Sang Pelukis malu dan mohon kesempatan lagi untuk minta Sri Krishna berkenan duduk selama 1 jam untuk mengambil sketsa-Nya. Kejadiaan itu telah berlangsung 10 hari akan tetapi hasil lukisannya masih saja belum sempurna, tidak mirip dengan Sri Krishna yang berada di hadapannya.

Sang Pelukis sangat malu dan segera meninggalkan kota. Adalah Rishi Narada yang kebetulan bertemu dengan Sang Pelukis dan bertanya mengapa Sang Pelukis nampak murung dan gundah gulana. Sang pelukis menyampaikan apa yang dialaminya. Rishi Narada berkata bahwa Sri Krishna adalah Master baik sebagai Aktor sekaligus Sutradara Utama. Seluruh drama di alam ini adalah ciptaan Dia. Dengan metode yang dipakai Sang Pelukis, dia tidak akan berhasil memperoleh lukisan yang mirip dengan Sri Krishna. Nafsu keinginan Sang Pelukis membuatnya gagal. Amarah akibat frustasi membuat Sang Pelukis ingin melarikan diri dari tugasnya. Sang Rishi berkata bahwa bila Sang Pelukis ingin sukses dalam pekerjaannya maka dia harus mengikuti nasehat Sang Rishi.

Sang Pelukis patuh dan dia kembali ke Dvaraka menemui Sri Krishna membawa hasil lukisan yang dibungkus kain. Sang Pelukis menyampaikan bahwa dia telah berhasil melukiskan Wajah Sri Krishna dengan akurat. Perubahan apa pun yang terjadi akan ditunjukkan oleh hasil lukisan tersebut.  Sang Pelukis kemudian membuka kain penutup dan mohon Sri Krishna berkenan menerima hasil lukisannya. Ketika kain penutupnya dibuka maka terlihatlah sebuah cermin yang bersih.

Di alam semesta fisik semuanya bersifat sementara. Semua bentuk terus menerus mengalami perubahan. Bentuk-bentuk sementara yang demikian tidak bisa memberikan gambaran yang tepat terhadap Tuhan yang permanen. Jika kita ingin memiliki gambaran Tuhan yang bersih dan tidak berubah, kita hanya dapat memperolehnya hanya dengan cermin yang bersih, hati kita yang murni. Menjadi Cermin yang Bersih berarti membersihkan nafsu keinginan, membersihkan ego, Tuhan akan nampak sesuai Kehendak-Nya, bukan seperti keinginan kita.

Cermin Diri yang Tertutup oleh Debu Keinginan dan Amarah

“Sebagaimana api tertutup oleh asap; cermin oleh debu; dan janin oleh kandungan – pun demikian Kesadaran Diri atau Pengetahuan Sejati tentang Hakikat Diri sebagai jiwa, percikan Jiwa Agung, tertutup oleh nafsu keinginan dan amarah.” Bhagavad Gita 3:38

Penutup-penutup yang disebut oleh Krsna bukanlah penutup yang dapat menutupi untuk selamanya. Asal ada kemauan, ada sedikit upaya, penutup-penutup ini dapat dibuka. Kebenaran Sejati dapat terungkap ketika nafsu keinginan, dan amarah teratasi. Ketika tirai berlapis dua itu terangkat. Bagaimana mengangkat tirai berlapis dua itu? Krsna tidak hanya berfilsafat. Ia pun memberi solusi, menjelaskan caranya. Gita adalah panduan solusi.

 

“Wahai Kaunteya (Arjuna, Putra Kunti), Pengetahuan Sejati tentang Hakikat Diri tertutup oleh nafsu keinginan yang oleh para bijak disebut musuh manusia sejak dahulu kala; berhubung nafsu keinginan bagaikan kobaran api yang berkobar terus, tidak pernah puas.” Bhagavad Gita 3:39

Krsna menjelaskan akar persoalan. Apa yang menyebabkan nafsu keinginan, keserakahan, amarah? Ia juga membeberkan sifat dari nafsu itu sendiri.

Jadi bukan sekadar “Jangan Serakah!” Tidak sekadar larangan untuk tidak berkeinginan. Bukan sekadar sepucuk keputusan untuk tidak melakukan ini, atau tidak melakukan itu. Krsna menjelaskan “kenapa”, “bagaimana”, dan yang terpenting “apa” itu yang disebut keinginan berlebihan.

Jika kita sadar akan betapa berbahayanya asap rokok bagi paru-paru kita, maka dengan sendirinya kita akan melepaskan rokok. Tapi, jika hanya dilarang saja, maka bisa kita tidak merokok di depan orang yang melarang. Tapi, begitu orang itu tidak ada, kita merokok kembali.

Cara Krsna membebaskan kita dari nafsu adalah dengan memahami sifatnya, dan mencabut dari akarnya.

 

“Indra, gugusan pikiran serta perasaan (mind) dan buddhi atau intelegensia adalah lapisan-lapisan tempat hawa nafsu atau keinginan dan amarah bersarang,. Dengan menggunakan semuanya itu, ia menutupi Kebenaran Sejati, Hakikat Diri, sehingga membingungkan Jiwa yang bersemayam di dalam badan.” Bhagavad Gita 3:40

Terkecoh oleh indra, gugusan pikiran serta perasaan dan inteligensia yang berkabut karena tertutup oleh nafsu – Jiwa tidak mengenal dirinya. Ia menjadi bingung.

Inilah keadaan kita semua – kita lupa akan jati diri kita sebagai Jiwa, percikan Sang Jiwa Agung. Kadang kita mengidentifikasikan diri dengan indra, kadang dengan gugusan pikiran serta perasaan. Dan, kadang dengan inteligensia.

 

“Sebab itu, Bharatarsabha (Arjuna, Banteng Dinasti Bharat), terlebih dahulu kendalikanlah indra-indramu. Kemudian, dengan sekuat tenaga, taklukkan hawa nafsu, yang merupakan penghalang utama bagi perolehan Pengetahuan Sejati Jnana dan Vijnana. Yaitu pengetahuan tentang Nirguna Brahman – Hyang Melampaui Wujud; dan tentang Saguna Brahman – Hyang Mewujud.” Bhagavad Gita 3:41. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

 

Hati Kita Bagaikan Cermin yang Berdebu – Debu Ketamakan, Debu Keangkuhan, Debu Iri Hati

Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

Kata “suci” yang digunakan oleh Yesus sangat bermakna. la tidak menggunakan kata “baik”. la juga tidak menggunakan kata “jujur” atau lain sebagainya. Suci berarti melampaui segala kebaikan dan segala keburukan. Suci berarti melampaui segala macam dualitas. Kebenaran dan kesalahan, sorga dan neraka, semuanya dilampaui oleh kesucian. Suci berarti pandangan Anda menjadi begitu jernih, begitu jelas, sehingga di balik segala sesuatu Anda melihat Tangan Allah.

Selama kita masih memilah antara baik dan buruk, antara sorga dan neraka, selama itu pula kita belum suci. Ia yang suci hatinya tidak akan memilah. la yang suci hatinya melihat Allah di balik segala sesuatu.

Selama ini yang membuat kita tidak dapat menyadari kehadiran-Nya adalah ketidak-sucian hati kita. Hati kita bagaikan cermin yang berdebu-debu ketamakan, debu keangkuhan, debu iri hati. Bersihkan cermin hati Anda, dan Anda akan langsung melihat Allah – menyadari Kebenaran jati-diri Anda. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Sabda Pencerahan, Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Yakin, Trust! Lampaui Logika dan Pemahaman dari Buku Belaka

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , , , on August 21, 2018 by triwidodo

Kisah Pundit dan Pengantar Susu

Seorang Master berkisah tentang Pundit (Cendekiawan, Pakar, Ahli Kitab) dan Pengantar Susu. Ada seorang Pundit yang sangat disiplin, berpegang pada jadwal waktu yang sudah terencana. Sang Pundit bangun pagi sekali, membaca pranawa dan kemudian setelah bersuci minum secangkir susu pada jam 7 pagi tepat. Kadang-kadang Pengantar Susu datang terlambat, karena dia tinggal di seberang sungai yang membatasi tempat tinggalnya dengan tempat tinggal Sang Pundit. Sang Pengantar Susu harus naik perahu tambangan untuk menyeberangi sungai. Tukang perahu tambangan tersebut kadang lebih awal atau kadang sedikit lambat, sehingga Sang Pengantar Susu sering tidak tepat waktu.

Suatu hari Sang Pundit marah dan berkata, “Kamu membuatku kesal dengan merusak jadwal disiplin saya. Tidakkah kamu tahu bahwa saya harus minum secangkir susu pada jam 7 pagi? Mengapa kamu bergantung pada perahu tambangan untuk menyeberang? Hanya mengulang nama Rama (Tuhan), kamu akan bisa berjalan menyeberangi sungai. Rama akan melihat bahwa kamu tidak tenggelam.”

Pengantar Susu yang sangat sederhana dan lugu itu yakin, trust pada kata-kata Sang Pundit. Keesokan harinya, Pengantar Susu mengulangi nama Rama dan dia dapat berjalan menyeberangi sungai. Sang Pundit bertanya, “Bagaimana kamu bisa dataang tepat waktu?” Sang Pengantar Susu menjawab, “Tuan, saya mengulangi nama Rama seperti yang Tuan katakan kemarin, dan saya bisa berjalan menyeberangi sungai. “

Sang Pundit terperangah. Dia tidak percaya, langsung minum susu dan mengajak Pengantar Susu membuktikan perkataannya. Sang Pengantar Susu menju sungai, mengulang-ulang nama Rama dan dia bisa berjalan di atas air menyeberangi sungai dan mengajak Sang Pundit mengikutinya di belakang. Sang Pundit tahu bahwa dia tidak akan bisa erjalan menyeberangi sungai karena dia tidak memiliki trust, keyakinan terhadap apa yang dia sendiri katakan – kekuataan dari menyebut Nama.

Boleh jadi Sang Pundit hapal Kitab-Kitab, akan tetapi hanya sekedar hapal dan bisa membanggakaan apa yang dia pahami. Akan tetapi dia tidak punya trust, keyakinan terhadap apa yang disebutkan dalan kitab-kitab tersebut. Otak kita berisi memori yang kita kumpulkan mulai dari sekitar 5.000 tahun yang lalu. Hanya berpengang pada logika yang dimiliki memori otak kita, kita susah melampaui logika. Meditasi bisa melampaui logika. Dan, Sang Pengantar Susu telah mempunyai keyakinan yang melampaui logika.

Melampaui Lapisan Mental dan Pikiran

Bila kita dapat melampaui lapisan mental dan pikiran kita, maka dalam alam Kesadaran yang melampaui pikiran itulah kita menemukan Inteligensia, Kecerdasan, atau apa pun sebutannya. Sesungguhnya, kita tidak berpisah dari Kesadaran, dari Inteligensia dan, dari Kecerdasan itu. Segala sesuatu adalah manifestasi dari-”Nya”.  Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2010). Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Mind dan emosi mesti menyelami diri lebih dalam lagi untuk menemukan inteligensia. Mulai belajar untuk beriman bahwasanya kedalaman diri yang telah dicapainya belum seberapa. Dan, bahwasanya tiada batas dari apa yang dapat dicapainya, bila mereka menyelam terus. Ketika mind dan emosi masuk ke dalam wilayah inteligensia murni, dualitas mulai sirna. Secara pelahan tapi pasti, mulailah kesadaran “tunggal” mengambil alih.

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” (Lukas 17:6)

Saat itu, manusia siap memasuki Kerajaan Allah: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Matius7:7) dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2010). A New Christ, Jesus: The Man and His Works, Wallace D Wattles. Re-editing, Terjemahan Bebas, dan Catatan Anand Krishna oleh Anand Krishna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Keyakinan dan Kehendak Yang Kuat, Dua-Duanya Adalah Buah Jiwa

“Have faith, trust—yakinlah! Keraguan muncul dari pertimbangan, perhitungan, logika, dan pikiran. Sementara itu, keyakinan adalah urusan jiwa. Yakinlah bila kekuatan jiwa jauh melebihi kekuatan pikiran. Dan jangan lupa, energi yang Anda keluarkan untuk berkarya, untuk bekerja, justru memperkuat jiwa Anda, iman Anda, keyakinan Anda pada diri sendiri. Pertimbangan, penilaian, semuanya bisa salah. Akal bisa akal-akalan, bisa juga mengakali. Logika hanya menggunakan informasi yang sudah dimilikinya sebagai acuan. Keyakinan adalah dari jiwa. Dan dari keyakinan seperti itu lahir kehendak yang kuat. So, trust and will power, keyakinan dan kehendak yang kuat, dua-duanya adalah buah jiwa. Urusannya dengan akal budi di dalam diri Anda, bukan dengan akal atau akal sehat saja, yang adalah buah pikiran.” Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Sang Pengantar Susu memiliki bekal keyakinan penuh dan devosi tanpa syarat.

 

Panembah Sejati Menempatkan Devosi di atas Rasio menurut Bhagavad Gita

Seorang panembah sejati tidak terjebak dalam permainan pikiran, persepsi, dan sebagainya. Dia menempatkan devosinya, penembahannya di atas rasio dan intelek.

Ini bukanlah soal “percaya-buta”, “perbudakan”, ataupun “pengultusan”. Sama sekali tidak. Sebab Krsna adalah Kesadaran Sejati Arjuna sendiri. Krsna adalah Kesadaran Sejati kita semua. Mengalahkan pikiran dan intelek demi Kesadaran Sejati menguntungkan kita sendiri; bukan perbudakan, bukan pengultusan, dan bukan percaya-buta.

Devosi atau penernbahan mendekatkan kita dengan ilahi, dengan diri kita yang sejati — dengan potensi diri yang tak terbatas, dengan intuisi, dengan kemampuan mengubah gagak-diri menjadi koyal bersuara merdu. Sementara itu, pikiran, akal-budi, intelek, pengetahuan — semuanya mengantar kita ke luar diri.

Untuk berinteraksi dengan dunia luar – Silakan menggunakan pikiran, akal-budi, dan sebagainya. Namun, untuk mengakses diri sendiri, kita mesti drop semuanya dan mesti jalan ke dalam diri dengan bekal keyakinan penuh dan devosi tanpa syarat. Bekal lain tidak berguna.

Topeng-topeng yang kita pakai sepanjang hari “barangkali” berguna untuk berhubungan dengan dunia luar. Namun, sama sekali tidak berguna untuk diri sendiri. Intelek, gelar, kedudukan — semuanya adalah atribut-atribut Iuaran, dan berguna untuk dunia luar. Untuk alam di dalam diri, kita tidak membutuhkan semua itu. Saat tidur saja, kita sepenuhnya berada dengan diri sendiri. Saat itu, kita tidak memakai jas, dasi, dan sebagainya. Saat itu kita tidak berpakaian rapi. Penjelasan Bhagavad Gita 12:20 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)

Menghadapi Masalah dengan Berani dan Pikiran Jernih

Posted in Inspirasi Rohani with tags , on August 20, 2018 by triwidodo

Kisah Ketakutan harimau dan pemburu dan keberanian beruang

Adalah sebuah kisah dari seorang Master: Seorang pemburu ketakutan dikejar harimau dan segera memanjat pohon. Harimau tersebut sedang kelaparan dan takut mati, sehingga tidak mau melepaskan mangsanya, dia menunggu di bawah pohon sambil memperhatikan mangsanya. Adalah seekor beruang yang tinggal di atas pohon diminta harimau untuk mendorong sang pemburu jatuh sehingga harimau dapat memangsa pemburu tersebut.

Beruang tersebut menolak, karena tamu yang datang tidak diundang adalah wujud Gusti Pangeran, dia harus menerima tamu dengan keramahan. Tidak berapa lama, beruang itu mengantuk dan tidur. Harimau yang menunggu di bawah berkata kepada sang pemburu bahwa dirinya sangat lapar. Setelah makan apakah sang pemburu ataupun beruang dia akan pergi.

Sang pemburu yang ketakutan hanya berpikir tentang keselamatan dirinya sendiri, dia mendorong beruang yang tidur agar jatuh ke bawah pohon. Adalah nasib beruang yang baik saat jatuh dia bisa menangkap sebuah cabang dan menyelamatkan diri naik ke pohon yang lebih tinggi. Harimau itu berkata kepada beruang agar dia tidak mempercayai manusia, dia telah mememberi tempat berlindung tapi orang yang tidak tahu berterima kasih tersebut malah mendorongnya agar jatuh ke dalam bahaya. Harimau minta beruang mendorong pemburu yang tidak tahu diri dari atas pohon.

Beruang tersebut berkata bahwa dia telah melakukan tugas dia, melayani tamu dengan baik. Semua orang harus menghadapi konsekuensi dari hukum sebab-akibat.

Tugas saya adalah melayani tamu dengan baik, itu sudah saya lakukan. Saya dijahati orang adalah karena tindakan jahat saya masa lalu yang sudah pernah menjahati orang. Dan oleh karena itu satu  karma buruk saya telah terselesaikan. Pemburu tersebut sedang membuat karma baru dengan bertindak jahat terhadap saya dan dia kan menerima balasan setimpal kemudian. Adalah karena kemurahan Gusti Pangeran saya terselamatkan. Saya tidak takut menghadapi masalah, akan tetapi saya juga tidak perlu berteman dengan harimau seperti kamu maupun manusia seperti pemburu ini!

Dan sang beruang melompat ke pohon lain meninggalkan harimau dan sang pemburu.

 

Kami ingat pesan Bapak Anand Krishna pada awal tahun 2015

Ingat Tuhan, Berkarya Tanpa Pamrih dan Berbagi Berkah

 

Kitab suci yang tebal dari penganut Sikh (dan menurut kami bisa diperluas dengan seluruh kitab yang disucikan) hanya memuat 3 kalimat: 1. Selalu Ingat Tuhan; 2. Selalu berkarya tanpa pamrih; dan 3. Selalu berbagi berkah.

Sudahkah kita melakukan hal tersebut?

Kalau hanya memikirkan kepentingan keluarga, kepentingan “family”, semua hewan pun sudah melakukan hal yang sama. Sebagai manusia kita berkarya mestinya bukan hanya untuk kepentingan keluarga, akaan tetapi untuk kepentingan umum, kepentingan umat manusia dan bahkan bagi seluruh makhluk.

Atithi Devo Bhava, tamu yang tidak diundang adalah Tuhan. Sudahkah kita melakukan hal demikian? Tamu yang datang dengan pemberitahuan lebih dahulu adalah “family”. Tamu yang datang tanpa undangan adalah wujud Tuhan.

 

Baik sang pemburu, maupun sang harimau bertindak karena takut. Berikut pandangan Bapak Anand Krishna tentang Ketidaktakutan.

Abhaya, Be Fearless, Jangan Takut

Jangan takut menghadapi kenyataan hidup. Jangan takut mengahadapi stress berat, jangan takut memikul beban. Jangan melarikan diri. Kendati tidak takut, janganlah bertindak anarkis. Jangan seperti kerbau lepas kendali. Jangan membalas tindakan yang tidak bertanggungjawab dengan tindakan serupa. Pertahankanlah kewarasan serta kesadaran diri! Masih ingat Maximum Risk Theory kan? Mati, kematian adalah resiko maksimum, yang  tak dapat dihindari. Lalu apa yang harus ditakuti? Tetapi, tidak berarti kita “mencari mati”. “Tidak takut mati” tidak membenarkan aksi bunuh diri. Tidak takut mati berarti tidak khawatir akan kematian. Tidak takut mati berarti bekerja sekuat tenaga, menyelesaikan pekerjaan setiap hari, karena barangkali hari ini adalah hari terakhir. Berusahalah untuk tidak meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, karena Anda pula yang kemudian harus menyelesaikannya. Untuk itu, terpaksa Anda harus “kembali”. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2007). Life Workbook Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Menggunakan energi untuk mengatasi rasa takut

Rasa takut menciptakan kekerasan. Sering seorang meditator pun menjadi penakut, karena ia tidak menyalurkan energi yang diperolehnya dari meditasi untuk mengatasi rasa takut. Energi itu malah memperkuat rasa takutnya. Pada dasarnya setiap orang, bahkan setiap makhluk, memiliki rasa takut. Tidak satu pun makhluk bebas dari rasa yang paling mendasar itu. Seorang meditator mesti menggunakan seluruh energinya untuk mengatasi rasa takut. Jika tidak, dan energi itu bersarang di dalam diri dan memperkuat rasa takut, ia menjadi penakut yang luar biasa, melebihi seorang non meditator. Karena itu, para guru selalu menciptakan program-program penyaluran, di mana para mediator ditantang untuk menjadi pemberani; untuk maju ke garis paling depan. Sayang, banyak yang tidak memahami hal ini, dan memisahkan latihan meditasi dari kehidupan meditative, sehingga energi meditasi yang semestinya membebaskan mereka malah membebani mereka. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2007). Life Workbook Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Mempraktekkan Nasihat Bijak

Kisah beruang tersebut bisa jadi menyentuh nurani kita, apa yang sudah kita lakukan selama ini? Adakah nasehat para bijak telah dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata?

Bapak Anand Krishna mengingatkan: Bahkan apabila kita tidak memiliki sesuatu apa pun, kita masih bisa memberikan sebuah senyuman. Beliau berpesan bahwa Giam Lo Ong, Sang Yama  itu ibarat tulang foto yang tidak tahu kapan mengambil gambar, menjepret kita. Saat menjepret itulah napas yang kita tarik dan dihembuskan untuk yang terakhir kalinya. Mengapa kita tidak selalu senyum sehingga saat dijepret kita dalam keadaan tersenyum?

Kekuatan Cinta: Magnet Kuat Mempersatukan Nala dan Damayanti

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on August 17, 2018 by triwidodo

Kisah Nala-Damayanti bagian 3: Begitu Perkasanya Getaran Cinta

Nala hanya berpikir tentang bagaimana nasib Damayanti. Sebagai sais kereta Raja Rituparna sekaligus sebagai juru masak sang raja dia berkesempatan bertemu dengan para pengawal tamu sang raja dari banyak kerajaan tetangganya. Nala mencari tahu tentang keberadaan Damayanti dan akhirnya tahu bahwa Damayanti belum pulang ke istana orangtuanya. Hal itu membuatnya menjadi gundah. Nala selalu bekerja sebaik-baiknya seakan-akan pekerjaannya dipersembahkan kepada Damayanti, dan selalu berdoa, “Gusti, Penguasa Tiga Alam, Penguasa Tiga Masa, masa yang lalu, sekarang dan masa yang akan datang, yang memberi kehidupan kepada semua makhluk, tunjukilah jalan yang tepat pada kami untuk bertemu dengan Damayanti.”

Demikian pula Damayanti, melayani Permaisuri Chedi seperti dalam melayani Nala. Pikirannya hanya menginat Nala, suaminya. Kepada teman-teman pelayan permaisuri dia selalu bertanya tentang kuda dan kuliner. Damayanti paham bahwa Nala menyembunyikan dirinya, akan tetapi tetap bertahan hidup dengan keahliannya sebagai tukang kuda dan kuliner. Setiap saat Damayanti selalu berdoa, “Gusti, Penguasa Tiga Alam, Penguasa Tiga Masa, masa yang lalu, sekarang dan masa yang akan datang, yang memberi kehidupan kepada semua makhluk, tunjukilah kami jalan yang tepat untuk bertemu dengan suami kami.”

Silakan baca kisah 1: https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2018/08/15/cinta-nala-damayanti-menghadapi-saingan-para-dewa/

Silakan baca kisah 2: https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2018/08/16/perjudian-pintu-kali-untuk-merusak-rumah-tangga-nala-damayanti/

Dalam ilmu fisika, ketika seseorang melakukan tindakan tertentu, pikiran orang itu akan berada dalam getaran tertentu. Semua pikiran yang mempunyai frekuensi yang sama akan terpengaruh oleh pikiran orang itu. Ketika sebuah alat musik dibunyikan, maka alat musik lainnya yang mempunyai frekuensi sama pada ruangan yang sama akan bergetar. Jadi semua pikiran yang sama frekuensinya akan terpengaruh oleh getaran pikiran yang sama. Getaran pikiran Nala dan Damayanti begitun kuatnya, dan memperoleh penguatan bahkan dari getaran-getaran pasangan yang saling mencintai ratusan tahun yang lalu. Para dewa pun turut merasa tergetar atas  doa pasangan terebut. Adalah Ayahanda Damayanti, Raja Vidharba yang tergerak dan menggerakan banyak utusan sang raja untuk mencari tahu keberadaan Damayanti dan Nala.

Salah seorang yang ke Kerajaan Chedi mendengar cerita tentang seorang perempuan setengah gila di pasar dan sekarang menjadi pelayan permaisuri. Utusan tersebut ke istana Chedi dan mengenali Damayanti yang segera dibawa ke Kerajaan Vidharba.

Utusan yang mencari keberadaan Nala tidak menemukan jejaknya. Dan, kemudian Damayanti mengirim para utusan untuk mencari ke seluruh negeri tetangga tentang orang yang ahli kuda dan kuliner. Dan diminta bertanya kepada mereka yang ditemuinya dengan pertanyaan: “Mengapa seorang pria tidak hanya meninggalkan istrinya tapi juga mengambil separuh pakaian yang dipakai istrinya?

Beberapa minggu kemudian, seorang utusan ke Kerajaan Ayodhya menemukan seorang ahli kuda dan juru masak istana bernama Bahuka, yang wajahnya buruk. Saat dia ditanya: “Mengapa seorang pria tidak hanya meninggalkan istrinya tapi juga mengambil separuh pakaian yang dipakai istrinya?” Bahuka menjawab: “Apabila pria itu bersikeras dengan tujuan agar istrinya kembali ke orangtuanya dan tidak ikut menderita bersama suami, maka tindakaan pria itu dapat dipahami?

Damayanti mengamati laporan tersebut dan kemudian mengadakan svayamvara bahwa ia membutuhkan suami dengan syarat yang bisa mengendarai kereta tercepat. Para raja dan pangeran diundang mengikuti svayamvara termasuk Raja Rituparna. Raja Rituparna pergi ke Vidharba bersama Bahuka, sais yang berwajah buruk. Di Vidharba, Raja Rituparna menolak disiapkan hidangan dari istana dan hanya makan masakan yang dimasak oleh juru masaknya. Damayanti minta salah seorang pelayannya mencuri sedikit masakan yang akan dimakan Raja Rituparna, dan kemudian dia paham bahwa masakan itu pasti dimasak oleh Nala.

Dalam perlombaan kereta Raja Rituparna menjadi yang tercepat. Dan saat kereta itu datang di bawah balkon Damayanti bersama Ayahanda Raja, Sang Putri tidak mengindahkan sopan santun menemui Bahuka yang buruk rupa. Sang Putri bertanya: “Mengapa seorang pria tidak hanya meninggalkan istrinya tapi juga mengambil separuh pakaian yang dipakai istrinya?” dan, Bahuka menjawab: “Karena pria itu kehilangan kerajaan dan tidak dapat memberikan fasilitas sang istri seperti apa yang pernah dilakukan sebelum perkawinan.”

Damayanti segera mengalungkan kalung bunga ke Bahuka yang segera mengenakan pakaian pemberian Ular Karkotaka dan berubah wujud sebagai Nala yang perkasa dan tampan wajahnya. Raja Rituparna memberi selamat kepada Damayanti dan berbicara bahwa dia tidak hanya kehilangan ahli kuda, tukang masak tapi juga kehilangan seorang sahabat karibnya.

Nala mengusulkan dia akan tinggal beberapa lama di Ayodhya mengajari Raja Rituparna tentang kuda akan tetapi minta Raja Rituparna mengajari dia bermain dadu. Sang Raja Rituparna menyetujuinya. Selanjutnya, Nala menantang bermain dadu dengan Pushkara, dia memberikan taruhan Damayanti sedang Pushkara bertaruh kerajaan Nishada. Tentu saja Pushkara menerimanya, dia sangat ingin menyempurnakan kerajaannya dengan menjadikan Damayanti sebagai permaisurinya. Damayanti gugup juga dengan pertaruhan tersebut, bagaimana jika Nala kalah lagi? Akan tetapi Damayanti yakin akan perkataan pertapa suci yang mengatakan suaminya akan memperoleh kerajaannya kembali.

Kali sudah tidak ada, sedangkan Nala sudah ahli main dadu, maka Nala memenangkan taruhan dan Pushkara harus menyerahkan kerajaan Nishada kepada Nala. Nala memberikan sebuah wilayah kota kepada Pushkara.

Nala dan Damayanti hidup berbahagia karena cinta suci di antara mereka berdua…..

Yudhistira berterima kasih kepada Rishi Brihadasva yang memberikan kisah yang memberikan semangat kepada dirinya untuk memperoleh kembali kerajaan yang direbut oleh Hastina…………….

One pointedness, Pikiran yang Tak Bercabang dari Nala dan Damayanti

Istilah ini sangat sulit untuk diterjemahkan: Memfokuskan Diri dengan “Pikiran yang Tak Bercabang”. Sesungguhnya one”pointed”ness jauh lebih berfokus daripada fokus. Maka, saya menambahkan “dengan pikiran yang tak bercabang”. Fokus pada suatu titik tidak menghilangkan segala sesuatu di sekitar titik itu. Persis seperti saat mengambil foto. Kita boleh berfokus pada suatu objek, namun apa yang ada di sekitarnya tetap ada. One “pointed “ness menghilangkan, melenyapkan segala sesuatu sekitar titik fokus. Seluruh kesadaran kita, pikiran kita, terpusatkan pada titik itu.

Ini bukan konsentrasi. Konsentrasi adalah urusan pikiran saja. Dan, pikiran tidak pernah stabil, selalu naik turun, tidak bisa berada lama di suatu tempat atau pada suatu titik. Lagi pula, konsentrasi mesti selalu diupayakan. Sementara itu, one “pointed” ness bisa terjadi tanpa upaya, asal ada niat, hasrat, dan keinginan yang kuat “terhadap” titik yang dituju. Ketika titik yang dituju di”niat”kan sebagai satu-satunya kiblat dan kita mencintai kiblat itu, maka one “pointed “ness terjadi dengan sendirinya tanpa perlu diupayakan.

Apa yang terjadi saat kau “jatuh” cinta? Walau berskala kecil, saat itu pun terjadi one “pointed” ness. Setiap saat kau mengingat pacarmu, kekasihmu. Kau tidak perlu mengingatkan diri untuk mengingatnya. Ingatan itu muncul sendiri, wajah kekasih terbayang sendiri.

Sebagai seorang-pelajar, siswa atau mahasiwa, apa yang menjadi kiblatmu? Apa yang menjadi tujuanmu ke sekolah atau kampus? Pikirkan, renungkan, kemudian bertanyalah pada diri sendiri berapa banyak waktu yang kau gunakan untuk mencapai tujuan itu dan berapa banyak waktu yang kau sia-siakan untuk mengejar hal-hal lain.

Belajar. Ke sekolah untuk belajar, ke kampus untuk belajar. Bukan untuk pacaran, bukan untuk berpolitik. Apakah kau one”pointed” terhadap pelajaranmu? Silakan berkenalan dengan siapa saja, berteman siapa saja, bersahabat dengan siapa saja, tetapi tidak one “pointed” terhadap apa pun, selain pelajaranmu, tujuanmu ke sekolah dan ke kampus.

One “pointed” ness adalah latihan mental dan emosional untuk memperkuat syaraf dan nyalimu. Latihan ini juga membutuhkan tenaga yang luar biasa, tenaga ribuan kuda, yang hanya dimiliki oleh kaum muda. Maka, tentukan kiblatmu, cintailah kiblatmu. Arahkan seluruh kesadaranmu dan tunjukkan seluruh energimu untuk mencapainya. Bila kau tidak mempraktikkan one “pointed “ness ketika masih memiliki kekuatan yang luar biasa dan energi yang berlimpah, maka setelah berusia 40-an nanti kau tak dapat mempraktikkannya lagi. Saat untuk melatih diri adalah, sekarang! Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Youth Challenges And Empowerment. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Hanya Selangkah lagi bagi Nala dan Damayanti

Pada suatu saat, akan tiba kesadaran Nala dan Damayanti untuk one “pointed”, ekagrataa terhadap Gusti Penguasa Tiga Alam. Gusti dalam diri Damayanti melayani Gusti dalam diri Nala dan sebaliknya dan juga meluas ke wujud Gusti yang ada di mana-mana.

Doa yang dipanjatkan setiap saat akan membimbing mereka: “Wahai Gusti Penguasa Tiga Alam, Penguasa Tiga Masa, masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang. Cahaya Gusti menerangi seluruh jagad raya, semoga cahaya Gusti yang ada di dalam diri membimbing kami mengambil jalan yang tepat.”

…………………

Bhagavad Gita menjelaskan bahwa seorang Bhakta, seorang Pengabdi atau Pecinta Allah selalu sama dalam keadaan suka maupun duka. Keseimbangan dirinya tak tergoyahkan oleh pengalaman-pengalaman hidup. Ilmu apa yang dikuasai oleh seorang Bhakta sehingga ia tidak terombang-ambing oleh gelombang suka dan duka? Temyata, ilmu matematika yang sangat sederhana.

Seluruh kesadaran seorang Bhakta terpusatkan kepada la yang dicintainya. Kesadaran dia tidak bercabang. la telah mencapai keadaan Onepointedness – Ekagrataa. One, Eka – Satu…. la sudah melampaui dualitas. la telah menyatu dengan Hyang dicintainya. la telah menyatu dengan Cinta itu sendiri. Pecinta, Hyang dicintai, dan Cinta – tiga-tiganya telah melebur dan menjadi satu. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2007). Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan. Pustaka Bali Post)

Perjudian: Pintu Kali untuk Merusak Rumah Tangga Nala Damayanti

Posted in Inspirasi Rohani with tags , on August 16, 2018 by triwidodo

Kisah Nala-Damayanti bagian 2: Kalah Judi Hidup Terpisah dan Terlunta-Lunta

Kali (Makhluk Jahat, Kegelapan) yang mempengaruhi Zaman Kali Yuga berbeda dengan Bunda Kaali pasangan Shiva yang merupakan Bunda Alam Semesta.

Dikisahkan Kali ingin mengikuti svayamvara memperebutkan Damayanti, akan tetapi terlambat dan diberitahu Indra dan para dewa bahwa Damayanti telah dipersunting oleh Nala. Kali berniat menjatuhkan Nala dan merusak rumah tangga pasangan serasi tersebut. Nala mempunyai kelemahan menyukai main dadu walau tidak pintar bermain. Dan, pada suatu kali, Nala yang selalu menjaga kebersihan lupa mencuci kaki sebelum berdoa malam, dan debu tanah yang menempel pada kaki Nala dipergunakan Kali untuk masuk mengganggu pikiran Nala.

Silakan baca Kisah sebelumnya: https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2018/08/15/cinta-nala-damayanti-menghadapi-saingan-para-dewa/

 

Kali juga mempengaruhi pikiran Pushkara, saudara Nala untuk menantang Nala bermain dadu, dan kemudian Kali mengubah wujudnya sebagai dadu untuk mengalahkan Nala. Nala lengah main dadu sampai mempertaruhkan kekayaan dan kerajaannya. Damayanti melihat kejadian tersebut dan mengirimkan satu putra dan satu putrinya naik kereta ke ayahnya yang menjadi Raja di Videha dengan sais  Varshneya. Nala kalah dan kerajaannya hilang akibat main dadu. Pushkara mengajak Nala mempertaruhkan Damayanti, akan tetapi Nala menolaknya, dan pasangan Nala dan Damayanti pergi dari istana masuk hutan.

Nala dan Damayanti sedang berendam di telaga saat Nala melihat burung di tepi telaga. Nala melemparkan pakaiannya untuk menangkap burung, akan tetapi burung tersebut justru pergi dan mampu membawa pakaiannya. Burung tersebut terbang sambil berkata bahwa dia tadinya menjadi dadu dan sekarang menjadi burung untuk mengambil pakaian Nala. Mereka berdua berjalan dan saat bertemu orang Damayanti menutupi Nala yang telanjang dengan ujung sarinya. Mereka sampai jalan dengan banyak cabang, ada yang menuju Ujjain, Vidharba, Ayodhya dan Dekka. Damayanti mengajak Nala ke Videha menemui orangtuanya. Nala berkata bahwa dia tidak punya muka bertemu dengan mertuanya dan menyuruh Damayanti pergi ke Vidharba, tinggal dengan orangtuanya. Damayanti menolak, dalam suka dan duka dia akan mengikuti suaminya.

Mereka kecapekan berjalan dan tidur di bawah pohon. Nala bangun lebih dahulu dan memperhatikan Damayanti yang biasa dilayani banyak pelayan di istana, sekarang tidur di rumput di tengah hutan. Nala tidak tega melihat kesengsaraan yang diderita Damayanti dan pergi meninggalkan dia yang sedang tidur. Damayanti bangun dan melihat Nala tidak ada hanya melihat kainnya robek di ujung mungkin untuk menutupi ketelanjangan suaminya. Dia paham Nala minta dia pergi ke Vidharba menemui orangtuanya. Damayanti sedih dan menagis sambil mencari Nala di tengah hutan sambil berdoa, “Gusti, Penguasa Tiga Alam, lindungilah aku dan suamiku dan pertemukan kami kembali!”

Seekor ular phyton menangkap Damayanti dan membelit tubuh Damayanti yang berteriak-teriak minta tolong. Seorang penduduk liar hutan membunuh ular tersebut dan melepaskan Damayanti. Damayanti menceritakan kisahnya, akan tetapi orang liar tersebut tertarik kecantikan Damayanti dan menariknya dengan paksa. Damayanti mengutuk sambil membaca mantra dan orang tersebut meninggal. Akhirnya Damayanti sampai pondok orang suci yang berkata agar sementara dia tinggal di tempat tersebut. Orang suci tersebut berkata bahwa dia bisa melihat bahwa suatu saat Damayanti akan ketemu Nala dan suaminya akan kembali memperoleh kerajaan dan kemuliaannya kembali. Damayanti sengaja menutupi wajahnya dengan bedak tebal agar wajah aslinya tersembunyi. Damayanti berdoa, “Gusti, Penguasa Tiga Alam, lindungilah aku dan suamiku dan pertemukan kami kembali!”

Pada suatu hari serombongan pedagang lewat dan pemimpin rombongan kasihan melihat Damayanti dan diajaknya ke Chedi agar bekerja sebagai pelayan permaisuri di sana. Damayanti dianggap para pedagang sebagai wanita tidak waras, berbedak tebal dan sendirian di hutan sampai tinggal di pondok para petapa. Damayanti mengatakan bahwa dia ditinggalkan suaminya yang kalah main judi. Dalam perjalanan rombongan tersebut diserang oleh kawanan gajah dan para pedagang mengatakan bahwa perempuan tersebut membawa sial. Mereka membawa Damayanti ke tempat pelacuran untuk dijual, tapi ditolak karena takut membawa sial. Damayanti mulai dilempari batu oleh rombongan para pedagang, saat pasukan kerajaan menyelamatkannya dan para pedagang berlarian. Damayanti diminta mandi, memakai pakaian layak dan menemui Permaisuri. Damayanti mengatakan bahwa dia ditinggal suaminya yang kalah judi di hutan. Akhirnya, Permaisuri Chedi menerima Damayanti sebagai pelayannya.

Nala pergi berjalan di sekitar hutan dan berpikir Damayanti sudah pergi menuju istana orangtuanya dengan selamat. Tiba-tiba dia dikejutkan dengan hutan yang terbakar dan dia segera keluar dari hutan tersebut saat dia mendengar ular berteriak minta tolong karena tidak bisa bergerak dan mohon pertolongannya. Nala membawa ular tersebut dipundaknya keluar dari kobaran api. Akan tetapi ular tersebut menggigitnya dan wajah Nala berubah menjadi buruk terkenan racun ular. Ular yang bernama Karkotaka tersebut mohon tidak dikutuk oleh Nala karena sudah kebiasaan dia menggigit orang di dekatnya. Karkotaka berkata bahwa lebih baik Nala menyembunyikan diri dengan wajah buruk sampai suatu saat dapat kembali mengubah menjadi wajah aslinya. Karkotaka memberikan kain yang bila dipakai akan membuat Nala kembali ke wajah aslinya.

Nala akhirnya menjadi tukang kuda Raja Rituparna dari Kerajaan Ayodhya. Nala diajari Varshneya, sais keretanya sendiri saat menjadi Raja di Nishada, akan tetapi Varshneya tidak mengenalinya. Selanjutnya Nala bahkan juga merangkap sebagai juru masak Sang Raja. Ternyata Raja Rituparna ahli bermain dadu dan tidak ada orang yang berani melawan sang raja dalam bermain dadu.

Setiap hari Nala memikirkan Damayanti dan Damayanti memikirkan Nala. Nala yakin perkataan ular Karkotaka bahwa dia akan bertemu istrinya dan kembali menjadi raja, akan tetapi bagaimana caranya? Damayanti juga yakin perkataan petapa suci bahwa dia akan ketemu dengan suaminya,dan kembali menjadi permaisuri, akan tetapi apa yang harus dia lakukan. Mereka berdua hanya dapat berdoa dan melakukan pekerjaan sebaik-baiknya…….

Pintu Judi Awal Masuk Kali mempengaruhi Kali Yuga

Dalam kisah Mahabharata, Raja Parikshit pengganti Yudhistira menemui Kali.

Kali berkata, “Raja, kau pun tahu sudah saatnya aku memasuki panggung dunia… Tapi, kebajikan, kebijaksanaan, dan kasihmu selalu menahan diriku. Aku tidak bisa berperan sesuai dengan peran yang telah ditetapkan bagiku.”

Parikshit merenung sebentar. Kehadiran Kali memang sudah menjadi bagian dari cetak biru keberadaan. Dia tidak ingin rnenghalanginya, tetapi……. “Baik, Kali……. Silakan memasuki panggung dunia dan berperan sesuai dengan peran yang telah ditetapkan bagimu……. Tetapi dengan syarat,” kata Parikshit.

“Syarat apa, Raja? Katakan apa maumu, Raja tanya Kali.

“Silakan memasuki panggung dunia, tetapi lewat empat pintu saja. Jangan mengetuk pintu lain. Pintu Pertama adalah Pintu Judi…….

Kali langsung saja mengiyakannya. Yang penting masuk dulu. Parikshit tidak sadar bahwa pengaruh Kali bisa mengubah apa saja menjacli perjudian. Lihat bagaimana bank-bank kita berlomba untuk memberi hadiah. Kita pun membuka rekening dengan harapan akan memperoleh hadiah, akan mempcroleh “lebih” daripada apa yang menjadi hak kita. Harapan seperti itu kalau bukan spekulasi apa lagi? Kemudian, spekulasi itu apa lagi kalau bukan perjudian?

Kali senang sekali. Dia bisa melihat jauh ke depan. Dia bisa menggunakan judi sebagai senjata ampuh untuk melumpuhkan kesadaran manusia. Pintu masuk satu itu saja sudah cukup.

Apalagi Sang Raja sudah menjanjikan tiga pintu lagi. “Baik Raja, kuikuti saja perintahmu. Bagaimana dengan tiga pintu yang lain?” – katanya.

…………

Kedua adalah Pintu Mabuk. Masukilah hidup mereka yang selalu dalam keadaan mabuk.”

Maksud Sang Raja mabuk secara harfiah, mabuk minuman keras, kecanduan ganja dan sebagainya. Kali melihatnya dari sudut pandangan berbeda. Mabuk harta juga mabuk. Mabuk takhta juga mabuk. Mabuk wanita/pria juga mabuk. Definisi mabuk Kali jauh lebih luas daripada definisi Parikshit.

……………

“Ketiga adalah Pintu Zinah.” Parikshit begitu yakin bahwa dalam kerajaannya tak seorang pun warganya melakukan perzinahan. Warga India saat itu rupanya cukup alim dan ”sadar”! Yang tidak disadari oleh Parikshit adalah “pengaruh Kali” terhadap dirinya. Berdialog dengan Kali saja sudah cukup untuk mempengaruhi kesaclarannya. Ia sudah mulai membedakan warga-“nya” dari warga dunia “yang lain”. Kali boleh mempengaruhi warga dunia yang lain, selama tidak mempengaruhi warganya, “Kali boleh masuk lewat pintu-pintu lain selama tidak lewat empat pintu yang telah ‘ku’-tentukan.” Ini pun ego, tapi apa boleh buat? Kali memang sudah harus memainkan perannya di atas panggung dunia.

Bagi Kali, “perzinahan” tidak sebatas ” penyelewengan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya”. Bagi Kali, “zinah” berarti merampas hak orang”. Zinah berarti “memaksakan kehendak diri”. ”Mewujudkan keinginan dengan cara apa saja”—itu pun zinah.

…………….

“Keempat adalah Pintu Pembunuhan.” Selama Parikshit berkuasa tak seorang pun warganya pernah dihukum karena melukai atau menyerang warga lain, apalagi membunuh.

Bagi Kali, pintu keempat yang diperbolehkan Parikshit itu merupakan berkah tersendiri. “Pembunuhan terjadi di mana-mana,” pikirnya, “ada yang dibunuh, ada yang malah melakukan aksi bunuh diri. Ada yang membunuh orang lain, ada yang membunuh nuraninya sendiri.”

Betul dia…… Tidak mendengarkan suara hati merupakan aksi pembunuhan terhadap nurani.

Sebelum pamit untuk memasuki panggung dunia, sempat-sempatnya Kali melakukan kalkulasi dalam “hati”. Hitung-hitung warga dunia yang dapat dipengaruhinya lewat pintu itu tak lebih dari dua pertiga jumlah penduduk dunia dalam satu masa. Masih tersisa sepertiga, dan Kali tidak rela. “Raja, Raja……. Kasihanilah diriku. Keempat pintu tadi belum cukup. Beri aku satu pintu lagi.”

Parikshit berpikir kembali, “Apa ya, apa ya….? Pintu ini…. Ah tidak…. Pintu itu, ah tidak juga….” Akhirnya, “Kali, hanya satu pintu lagi—pintu kelima, pintu terakhir ialah di mana terjadi penimbunan harta. Itulah Pintu Kelima yang dapat kau gunakan. Pintu Harta Berlebihan.

Dalan bahasa Vyaasa, pintu kelima ini disebut Pintu Emas. Bila seseorang sudah mulai menimbun emas batangan, berarti hartanya sudah betul-betul berlebihan. Taruh di bank, takut ditelusuri oleh instansi pemerintah. Beli properti bisa dilacak juga. Ya sudah, simpan emas batangan saja di pekarangan belakang rumah. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Bagaimana nasib Nala  dan Damayanti selanjtnya? Silakan ikuti kisah selanjutnya: