Archive for shuka

Shukadeva: Beda Cinta Gopi dengan Cinta Sepasang Manusia #SrimadBhagavatam

Posted in Bhagavatam with tags , , , on August 8, 2017 by triwidodo

Shukadeva dan Shuka Nadi bagi murid-muridnya

Soul atau Jiwa tidak memiliki gender. Apa gender angin dan air? Apa gender tanah dan api? Apa pula gender Tuhan? Apakah energi memiliki gender, kendati ada istilah positif dan negatif?

Gender adalah urusan badan, fisik, raga—dan badan tidak dapat bertahan selamanya. Adalah energi yang bertahan selamanya. Silakan menggunakan badan sesuai dengan perannya. Silakan menggunakan fisik sesuai dengan gendernya. Silakan menggunakan raga sesuai dengan apa yang selama ini Anda anggap sebagai “kodrat”-nya. Tetapi, sadarlah,bahwa Kodrat Hakiki Jiwa adalah genderless. Tanpa gender.

Soul Awareness Tidak Muncul sebelum kita melampaui identitas-identitas diri yang palsu, identitas-identitas yang terkait dengan badan, pikiran, emosi, intelektualisme, status sosial, latar belakang akademis, dan sebagainya. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2016). Soul Awareness, Menyingkap Rahasia Roh dan Reinkarnasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Ketika Kesadaran Manusia berada di Wilayah 3 Chakra Awal……… Khususnya sekitar Chakra Kedua, maka ia mengejar kenikmatan duniawi. Ia baru mengenal keterikatan dan ketertarikan. Cintanya masih bersifat birahi dan ditujukan terhadap seseorang atau beberapa orang.

Ketika berada sekitar Chakra Keenam, ia mengenal kasih sejati yang tak bersyarat dan tak terbatas. Ia mulai mencintai sesama manusia tanpa mengharapkan timbal-balik. Ia tinggal selangkah lagi merasakan keselarasan sampurna dengan semesta. Tinggal selangkah lagi untuk melihat wajah Allah di mana-mana.

Interaksi antara gender bagi para sanyasi hanya bermanfaat ketika masing-masing sudah berada di wilayah chakra keenam tersebut. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Latar Belakang Rishi Shuka sang Penyampai Kisah Srimad Bhagavatam kepada Parikshit

Rishi Shuka (Shukadeva) bahkan lebih sempurna dari Rishi Vyasa, ayahandanya, sang penulis Mahabharata, Srimad Bhagavatam, dan yang mengumpulkan Veda. Rishi Shuka adalah putra ideal dari pikiran Sang Bhagawan.  Pada suatu ketika Rishi Shuka yang tidak berpakaian melewati melewati beberapa gadis yang sedang mandi telanjang di sungai, dan para gadis tidak mempedulikan Rishi Shuka, sang perjaka tampan.

Akan tetapi ketika Rishi Vyasa menyusul Rishi Shuka di belakangnya, para gadis cepat-cepat menutupi diri mereka dengan pakaian, meskipun ia sudah tua.

Vyasa bertanya, mengapa mereka tidak mempedulikan Rishi Shuka yang muda tetapi malu dengan dia yang sudah tua, mereka menjelaskan bahwa Rishi Shuka adalah “Samadrik”, orang yang melihat tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, tetapi Vyasa belum mencapai tahap itu. Mereka dapat merasakannya.

Jelas sekali kala Rishi Shuka mengisahkan Srimad Bhagavatam kepada Parikshit, tidak ada sebersit pun pikiran “ngeres” seperti kita semua. Bagi Rishi Shuka kisah cinta para gopi dengan Krishna adalah kasih murni dalam kesadaran spiritual bukan kisah sensual.

 

Raja Janaka orangtua Sita, mertua Sri Rama pernah menguji Rishi Shuka dengan meletakkan segumpal gula di lidah Shuka dan diminta membiarkan hal tersebut. Pada umumnya, saat melihat gula lidah kita mulai berair. Akan tetapi dalam waktu lama gula di lidah Shuka tidak terganggu, bahkan Shuka tidak mengeluarkan air liur juga.

Selanjutnya Raja Janaka meminta Shuka membawa segelas susu yang terisi penuh dan berkeliling istana, sedangkan di seluruh penjuru istana para penari jelita menari dan menyanyi. Ternyata tidak setetespun susu yang tumpah. Pikiran Shuka terfokus pada Krishna, penyanyi dan penari tidak dapat mempengaruhinya. Kisah Raja Janaka dan Rishi Shuka ini tidak nyambung karena tidak sesuai waktu kelahiran mereka, akan tetapi kisah tersebut memang dari mulut ke mulut.

Intinya, Rishi Shuka yang berkisah tentang Srimad Bhagavatam sama sekali terlepas dari segala bentuk kenikmatan indra. Tidak mungkin dia berbicara dan mengagungkan kenikmatan sensual. Dengan memahami hal tersebut, kita bisa menikmati kasih para gopi dengan Krishna, adalah kasih spiritual bukan sensual.

Karena Rishi Shuka adalah orang suci, sebelum meninggalkan raga, beliau berjanji kepada semua muridnya bahwa beliau akan terus menerus menjaga kehidupan dan memandu mereka sampai lepas dari siklus kehidupan dan kematian. Beliau mulai mendikte “catatan” kepada seorang muridnya. Ada instruksi-instruksi yang diberikan kepada setiap murid, pada saat-saat kehidupan tertentu, ketika mereka benar-benar membutuhkannya. Koleksi beliau sangat besar, beliau telah memberikan catatan untuk 100.000 muridnya.

It is said that before leaving his mortal body, Shuka promised his disciples that he would continue to look after their well being and guide them until each of them transcended the cycle of birth and death. Then he began to dictate the Nadis to one of his disciples. They were instructions given to each of the disciples at a point their lives, rather lifetimes, when they really needed them.

          The collection of Shuka Nadi was therefore a huge one. The great Shuka had left instructions for over one hundred thousand disciples. Each Nadi was thereafter given a code number by the sage himself. And the science of decoding it was taught to the disciples entrusted with the first palm of leaf copies of the Gospel. So five thousand years back he became the first Shastri of Shuka nadi.

 

Krishna baru berusia 10 tahun

Hal yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa cinta kasih para gopi terhadap Krishna yang berusia 10 tahun disampaikan pada Canto ke-10 oleh Rishi Shuka. Mulai awal telah disampaikan bahwa para bhakta siap melepaskan segalanya demi Gusti yang mewujud sebagai Krishna Avatara.

Prahlada putra Hiranyakashipu siap meninggalkan kerajaannya demi Gusti yang mewujud sebagai Narasimha Avatara, manusia berkepala singa.

Selanjutnya, Raja Bali yang perkasa menyerahkan semua kekuasaan dan kekayaannya pada Gusti yang mewujud sebagai Vamana Avatara, brahmana kerdil.

Sehingga wajar saja para gopi menyerahkan segala-galanya kepada Gusti yang mewujud sebagai Krishna Avatara. Kita melihat hubungan Yasoda dengan Krishna, mempunyai hubungan yang kekal, karena kasih ibu dengan anaknya adalah kekal. Hubungan rasa antara Krishna dengan Sudama, dan teman-teman lainnya adalah hubungan antar teman, sebagai mitra.

Para gopi juga mencintai Krishna sejak lahir, mereka berusia beberapa tahun lebih tua. Bukan hubungan nafsu. Bahkan para gopi dalam kehidupan sebelumnya adalah para rishi bijak yang mencintai Sri Rama. Jadi dalam kehidupan sebelumnya mereka adalah para rishi yang sudah tua, hanya sekarang memperoleh berkah lahir lagi sebagai para gopi. Sehingga mereka sudah bijak sejak kehidupan sebelumnya. Cinta kasih mereka adalah cinta kasih spiritual belaka.

 

Dari berbagai sumber di dunia maya

Apa yang Harus Dilakukan Tujuh Hari Menjelang Kematian? #SrimadBhagavatam

Posted in Bhagavatam with tags , , on December 18, 2016 by triwidodo

buku-bhagavatam-parikshit-dan-shuka

“Tinggal tujuh hari….. Apa yang harus kulakukan dalam tujuh hari ini?”

Apa yang akan kita lakukan bila diberitahukan tujuh hari kemudian akan mati? Mungkin langsung nervous dan jatuh sakit, atau kena serangan jantung dan mati sebelum hari ketujuh.

Kesadaran Parikshit jauh di atas kita, “Apa yang dapat kulakukan dalam tujuh hari ini? Bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapi Sang Kala, Dewa Pencabut Nyawa? Bagaimana meninggalkan dunia ini dengan tenang tanpa keterikatan, kekhawatiran, dan keraguan?

Para pendeta menyarankan upacara besar-besaran. Para cendekiawan menyarankan pendalaman kitab suci dan filsafat. Para menteri malah menyarankan agar berita itu dirahasiakan untuk menghindari pemberontakan atau serangan dari luar. Parikshit tidak terkesan, “Tidak, bukan persiapan itu yang kumaksud.” Persiapan apa lagi yang dimaksudnya, dia pun tidak tahu.

Ada yang menganjurkan latihan pernapasan. Ada yang menawarkan pembangkitan kundalini dan lain sebagainya.

Parikshit tetap tidak puas, “Jawablah dengan jujur, wahai pendeta dan guru yang kuhormati,” tanya Parikshit, “apakah kalian sudah merasa puas dengan ilmu-ilmu yang kalian kuasai? Apakah kalian sudah merasa dekat dengan yang Maha Kuasa? Apakah pengetahuan kalian telah mempersiapkan kalian untuk menghadapi maut dengan senyuman?”

Mereka jujur, “Tidak Baginda, tidak… Kami belum siap menghadapi maut dengan senyuman.”

Lalu untuk apa harus kudalami semuanya itu? Lagi pula kalian membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menguasai ilmu kalian, aku hanya memiliki tujuh hari. Itu pun akan berkurang menjadi enam bila beberapa saat lagi matahari terbenam.”

buku-bhaja-govindam-500x500

Cover Buku Bhaja Govindam

Parikshit mulai gelisah… tetapi dia sangat beruntung. Getaran kegelisahannya tertangkap oleh Shuka, putra Resi Vyaasa. Walau berusia belasan tahun, Shuka bukanlah manusia biasa. Kesadarannya jauh melebihi kesadaran sang ayah. Ia mendatangi Parikshit yang saat itu sudah meninggalkan istananya dan berada di tepi sungai Yamuna.

Sejak kelahirannya, Shuka tinggal di tengah hutan. Ia merasa tidak perlu berinteraksi dengan dunia luar. Oleh karena itu berbusana pun dianggapnya tidak penting. Dalam keadaan telanjang bulat remaja berusia 17-an tahun itu datang menghadap Parikshit, “Tujuh hari sisa hidupmu sudah lebih dari cukup untuk membebaskan kamu dari samsara, dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tak berkesudahan.”

Mereka yang hadir bersama Raja Parikshit saat itu diperkirakan lebih dari 100,000 orang. Ada yang malah memperkirakan 500,000-an. Kebanyakan di antara mereka baru pertama kali melihat Putra Vyaasa. Sebelum itu mereka hanya mendengar namanya saja. Walau demikian, Shuka tidak membutuhkan perkenalan lagi. Wajahnya yang berkilau sudah cukup untuk memperkenalkan dirinya. Parikshit bertekuk lutut dan mencium kaki Sang Bhagavan. Ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya.

Shuka mengulangi pernyataannya, “Raja, jangankan tujuh hari, sekejap pun cukup untuk membebaskan dirimu dari lingkaran kelahiran dan kematian… Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda! Dan saat itu pula kau terbebaskan dari samsara.”

Yang dimaksudkan Shuka tentunya bukan sekadar ulangan ala burung beo. Bersorak dengan gembira dan menyebut nama Govinda berarti menumbuh-kembangkan rasa cinta terhadap Ia Yang Maha Kuasa. Tidak takut, tidak pula menyembah-nyembah seperti budak, tetapi mencintai-Nya.

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

…….. dan dimulailah Kisah-Kisah dalam Srimad Bhagavatam. Kisah-kisah yang disampaikan Shuka kepada Parikshit…………………