Archive for bhagavad gita

Penderitaan Yang Dihadapi Para Master Bukan Karena Karma

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on December 3, 2018 by triwidodo

Kisah Lakshmana dan Guha Membicarakan Penderitaan Sri Rama

Dikisahkan oleh seorang Master tentang Kesedihan Guha, bhakta Sri Rama yang merasa sedih melihat penderitaan Sri Rama dan Sita yang harus menjalankan pengasingan selama 14 tahun.  Sebagai kepala nelayan dia merasa sangat sedih Gusti junjungannya tidur dan hidup di hutan. Pada saat Guha mendayung perahu menyeberangi sungai, Sri Rama dan Sita tertidur dalam perahu, mungkin karena kecapekan.

Guha bergumam, “Betapa jahatnya Permaisuri Keikayi dan Manthara sang dayang jahat, yang membuat Gustinya mengalami penderitaan. Seorang putra mahkota harus hidup di hutan pengasingan bersama istrinya selama 14 tahun. Begitu banyak bahaya mengancam di hutan, apakah Gusti dapat menjalani dengan selamat? Semoga mereka yang bertindak jahat terhadap Gusti memperoleh balasan yang setimpal.”

Lakshmana yang tidak tidur mengingatkan Guha, “Saya juga sangat marah terhadap kejahatan yang dilakukan terhadap Rama. Tetapi saya pribadi tidak tahu Tujuan Hidup Rama. Saya yakin Dia harus menghancurkan Adharma. Untuk itulah Gusti Pangeran mewujud dalam ‘pakaian’ manusia. Dia meninggalkan istana untuk melakukan tugas yang tak dapat saya pahami. Bagaimana kita bisa memahami Gusti (Yang Mewujud sebagai Manusia), dengan segala keterbatasan pemahaman dan kesadaran rendah kita?”

Ketika Gusti Pangeran mewujud dalam dunia material, Dia selalu memiliki Agenda. Demikian pula ketika para Master lahir di Dunia, mereka selalu memiliki Agenda.

……………

Para Avatara menghargai orang saleh bijaksana, memusnahkan pelaku adharma dan menegakkan dharma. Mereka tidak terikat oleh hukum karma, mereka berada di atas hukum karma, tapi bertindak dalam hukum karma untuk memberi keteladanan.

Ketika Dia datang banyak para rekan akrabnya ikut berperan dalam drama dunia. Mereka memainkan drama begitu sempurna, seolah-olah nyata, tapi sejatinya tidak demikian. Krishna kecil menghadapi banyak bahaya dari para Raksasa, Asura bersama para gopi dan gopala.  Gusti memberikan kisah begitu banyak kesulitan dan bahaya mengepung-Nya. Dia menyampaikan pemahaman bahwa hidup di dunia materi adalah penuh penderitaan, tidak peduli siapa pun kita. Siapakah kita yang dapat melepaskan diri dari penderitaan selama hidup di dunia. Siapakah kita yang ingin mengalami kebahagiaan sempurna tanpa rintangan dan ketidaksempurnaan dalam dunia?

Keterikatan kita pada kenikmatan duniawi yang membuat kita berharap yang demikian. Gusti memberi keteladanan bagaimana menegakkan dharma di tengah kekacauan dunia. Sesulit apa pun peran yang harus di jalani tetapi hidup harus menegakkan dharma. Itulah instruksi Krishna kepada Arjuna untuk berperang melawan para sepupu dan gurunya untuk menegakkan dharma. Demikian pesan dalam Bhagavad Gita.

Para Avatara tidak memiliki karma, tidak terikat dengan karma tapi demi kebaikan manusia mereka bertindak seolah-olah menjalani karma.

Penjelasan Sang Master membuka wacana mengapa Gusti Yesus harus mengalami penyaliban, demikian pula para Master mengalami penderitaan dan bahkan penjara di dunia materi.

Penjelasan Bhagavad Gita Mengenai Keteladanan Para Suci

“Apa pun yang dilakukan oleh para petinggi, dan mereka yang berpengaruh, menjadi contoh bagi rakyat jelata. Keteladanan yang mereka berikan, menjadi anutan, dan diikuti oleh masyarakat umum.” Bhagavad Gita 3:21

 

Sebab itu, mereka yang berada dalam posisi “penting”, “besar”, “tinggi” , dan berpengaruh – mesti berhati-hati dalam segala hal. Dalam setiap ucapan dan tindakan.

……………

Krsna mengajak Arjuna untuk meneladani Janaka – Sebelum meraih kekuasaan, Krsna sudah meletakkan standar kepemimpinan bagi Arjuna, “Seperti Janaka, seperti para bijak lain yang bersifat sama.”

Para psikolog modern menemukan berbagai kecenderungan masyarakat yang sungguh mengkhawatirkan. Misalnya kecenderungan memilih pemimpin karena penampilan dan reportase media yang diatur untuk memenangkan calon tertentu. Ini bisa terjadi di negeri Paman Sam, di belahan dunia yang dianggap lebih pintar, lebih cerdas, lebih sadar dari dunia ketiga yang belum cukup berkembang. Apalagi di negara-negara yang tingkat pendidikan manusianya hanya dinilai dari kemelekan terhadap huruf atau dari gelar akademis belaka!

Kemampuan membaca dan gelar tidak membuktikan bahwa yang bersangkutan sudah berpendidikan, sudah matang, sudah mampu memilah antara yang tepat dan tidak tepat.

Nah, apalagi dalam keadaan seperti itu, contoh keteladanan yang diberikan oleh seorang pemimpin, seorang tokoh, menjadi sangat penting. Seorang pemimpin tidak boleh teledor. Jika ia teledor, maka keteledorannya itulah yang akan ditiru oleh rakyatnya.

Krsna mewanti-wanti Arjuna untuk tidak bersikap demikian, tapi untuk menjadi pemimpin yang baik, sadar dan efektif.

(Para Master selalu mengingatkan para muridnya untuk menjadi pemimpin yang baik, sadar dan efektif – Pencatat Kutipan)

 

“Partha (Putra Prtha – sebutan lain bagi Kunti, Ibu Arjuna), di tiga alam ini tiada suatu tugas atau kewajiban bagi-Ku. Tiada pula sesuatu yang belum Ku-peroleh dan mesti diperoleh. Kendati demikian, Aku tetap berkarya.” Bhagavad Gita 3:22

 

Keadaan inilah yang sering membingungkan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka yang belum sepenuhnya sadar – diajarkan untuk berkarya. Mereka yang sepenuhnya sadar – dianjurkan tetap berkarya juga. Dua-duanya mesti berkarya tanpa mementingkan diri. Lalu bedanya apa? Bagaimana mengetahui bila saat ini kita berhadapan dengan seorang Arjuna yang sedang melaksanakan tugasnya, atau Krsna yang sudah bebas tugas, tapi tetap berkarya?

Perbedaan antara Krsna dan Arjuna memang sangat tipis – Jika bertemu dengan mereka di pasar dunia, kita hampir tidak bisa membedakannya. Arjuna sedang jual bawang. Krsna sedang jual cabai.

Arjuna seorang profesional, pun demikian dengan Krsna. Ia pun punya profesi. Arjuna berada di istana, istana Krsna pun tidak kalah mewahnya.

Lalu begaimana membedakan mereka? Pertanyaan ini mesti dijawab dengan pertanyaan lain, “Perlukah kita membedakan mereka?Contohi mereka. Ikuti anutannya. Ikuti standar keteladanan yang mereka berikan. Yang penting adalah berkarya tanpa pamrih, demi kebaikan semua. Yakinlah, dalam kebaikan bagi semua, kebaikan diri dan keluarga Anda pasti sudah ikut terurusi.

Adalah sorang Krsna sendiri yang tahu bila dirinya sudah berkesadaran-Krsna. Kita hanya bisa mengetahuinya jika kesadaran kita, setidaknya sudah mencapai, menyerupai tingkat kesadaran Arjuna.

Kesadaran Arjuna adalah kesadaran atas kebingungannya. Kesadaran Arjuna adalah kesadaran yang mampu menundukkan kepala ego dan bersujud pada Krsna. Kesadaran Arjuna adalah bebas dari rasa ke-“aku”-an. Jika kita sudah berkesadaran demikian seperti itu, maka tiba-tiba, “Eh, ternyata selama ini Krsna ada di sampingku, mengarahkan setiap langkahku. Aku saja yang bodoh, dan tidak mengenal-Nya.”

 

“Jika Aku tidak giat berkarya, maka niscayalah tatanan dunia ini akan kacau, karena manusia mengikuti keteladanan-Ku dalam segala hal.” Bhagavad Gita 3:23

………

Ia menghendaki kita berkarya dengan semangat-Nya, tanpa pamrih, tidak korup – sehingga masyarakat umum dapat mengikuti teladan kita.

 

“Jika Aku berhenti berkarya, niscaya terjadi kekacauan di dunia ini, semuanya akan punah binasa, dan Aku menjadi penyebab kebingungan, kemusnahan dan kebinasaan seluruh umat manusia.” Bhagavad Gita 3:24

Di sini Krsna sedikt subjektif. Apa urusan-Nya di medan perang Kuruksetra? Dia tidak perlu terlibat, tapi tetaplah dia melibatkan diri, bahkan menjadi sais kereta Arjuna. Ia tetap berkarya demi dharma, demi kebajikan, keadilan, kebenaran.

…………….

Krsna memberi warna, memberi corak, memberi purpose, maksud dan tujuan. Krsna mengarahkan, dan Pandava mengikuti arahan-Nya. Tidak demikian dengan Kaurava. Krsna telah berusaha untuk menyadarkan Kaurava. Mereka tidak menggubris aeahan-Nya. Ya, apa boleh buat.

Pun, demikian dengan para Krsna masa kini…….

Mereka tidak memiliki kepentingan apa pun. Mereka telah mencapai kesadaran tertinggi, namun mereka tetap berkenan untuk turun dari puncak kesadarannya untuk mengarahkan masyarakat yang sudah tidak terarah. Mereka adalah manusia-manusia berkesadaran Krsna.

Dikutip dari buku  (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia #BhagavadGitaIndonesia.

Dengan kisah di atas kita dapat menyadari bahwa Para Master tidak terikat dengan karma tapi demi kebaikan manusia mereka bertindak seolah-olah menjalani karma.

Menghayati dan Melakoni Bukan Sekedar Memahami

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on October 23, 2018 by triwidodo

Kisah Pandit dan Raja

Seorang Master berkisah tentang seorang Pandit yang sedang mengajarkan Bhagavad Gita kepada seorang Raja. Sampai pada suatu ketika sampai pada sloka:

“Namun, para panembah penuh welas asih, devosi – yang senantiasa mengenang-Ku, mengingat-Ku, memuja-Ku tanpa mengharapkan sesuatu (semata karena mencintai-Ku) – selalu menikmati kemanunggalan dengan-Ku. Mereka Ku-lindungi senantiasa dan Ku-penuhi segala kebutuhannya.” Bhagavad Gita 9:22

 

Sang Pandit menjelaskan makna sloka kepada Sang Raja. Tetapi Sang Raja menggelengkan kepalanya dan mengatakan: “Pandit salah menjelaskan tentang sloka ini. Cari maknanya dan besok datang lagi ke sini menjelaskan kepadaku.”

Sang Pandit gugup dan pulang ke rumah dengan lemah lunglai. Sampai di rumah istrinya bertanya, mengapa dia bersedih. Sang Pandit menjawab bahwa dia menjelaskan sloka Bhagavad Gita dan Sang Raja menolak makna yang dijelaskannya. Dia besok harus datang menjelaskan makna sloka tersebut. Sang Istri bertanya sloka yang mana? Dan Sang Pandit menyampaikan Sloka Bhagavad Gita 9:22 tersebut.

Sang Istri berkata bahwa Sang Raja benar, makna sloka tersebut bukan seperti yang dijelaskan Sang Pandit. Sang Pandit marah dan mengatakan bahwasanya apakah Sang Istri sudah lebih cerdas dari pada dia. Sang Pandit mengatakan bahwa kalau Sang Raja marah, maka gaji per bulan dari Sang Raja akan dihentikan dan nafkah keluarga akan diperoleh dari mana?

Sang Istri minta Sang Pandit merenungkan makna sloka tersebut. Sang Pandit masuk kamar dan mulai merenungkan makna sloka tersebut. Dia mengingat pesan Sang Istri bahwa bila dia telah memahami makna sloka tersebut, dia tidak ingin lagi pergi ke Sang Raja. Jika Sang Pandit hanya fokus pada Gusti maka Gusti akan mencukupi segala kebutuhannya.

Sang Pandit hanya terfokus pada Gusti, tidak terpikir lagi untuk menjelaskan makna sloka kepada Sang Raja.

“Namun, para panembah penuh welas asih, devosi – yang senantiasa mengenang-Ku, mengingat-Ku, memuja-Ku tanpa mengharapkan sesuatu (semata karena mencintai-Ku) – selalu menikmati kemanunggalan dengan-Ku. Mereka Ku-lindungi senantiasa dan Ku-penuhi segala kebutuhannya.” Bhagavad Gita 9:22

Keesokan harinya, Sang Raja menunggu Sang Pandit dan Karena tidak hadir Sang Raja kemudian minta petugas datang menjemput Sang Pandit. Sang petugas kembali dari rumah Sang Pandit dan mengatakan bahwa Sang Pandit sedang berada di kamar dan istrinya berkata bahwa Sang Pandit seluruh pikiran dan perasaannya fokus pada Gusti.

Sang Raja akhirnya berjalan kaki menuju rumah Sang Pandit, masuk kamar Sang Pandit dan membungkukkan badan memegang kaki Sang Pandit.

Sang Raja berkata, “Pandit telah memaknai sloka dengan benar. Hanya fokus pada Gusti dengan penuh kasih. Mohon ajarkan padaku apa yang telah Pandit alami bukan penjelasan kalimat per kalimat.”

Selanjutnya Sang Pandit hanya berbagi pemahaman Bhagavad Gita kepada Sang Raja, Penguasa Kerajaan sebagai tindakan kebaikan bagi sesame, sama sekali tidak mengharapkan imbalan dari Sang Raja. Semuanya merupakan persembahan kepada Gusti. Ida Na Mama. Yang Berkarya Bukan dirinya, Gustilah yang berkarya. Tentu saja Sang Raja tetap memberikan imbalan.

 

Kita Hanya Membutuhkan Gusti Sebagai Pemberi dan Pemuas Keinginan Kita

Sang Pandit tadinya hanya memahami Bhagavad Gita tanpa penghayatan dan laku, hanya untuk memperoleh imbalan dari Sang Raja.

Kita menuhankan keinginan kita seperti kutipan penjelasan Bapak Anand Krishna dalam Radar Bali, Senin 26 November 2007

 

Urusan kita dengan Tuhan pun bukanlah urusan cinta, bukanlah urusan kasih – tetapi perkara materi murni. Kita berdoa, kita menjalankan ritus-ritus keagamaan, bahkan kita beragama – hanya karena Tuhan adalah Hyang Maha Memberi segala apa yang kita butuhkan, Hyang Maha Mendengar segala macam keluhan kita, Hyang Maha Memenuhi segala macam keinginan kita, Hyang Maha Menyelesaikan segala macam perkara kita.

Barangkali kita tidak akan berurusan dengan Tuhan bila Ia adalah Hyang Maha Menegur dan Maha Menjewer kuping ketika kita berbuat salah. Kita lebih suka dengan atribut-atribut Tuhan seperti Hyang Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi. Jelas, kita tidak mau ditegur dan dijewer kuping kita.

Berarti, Tuhan yang Membahagiakan kita adalah Tuhan yang Memenuhi segala macam kebutuhan, bahkan keinginan materi kita. Dan, tidak pernah menegur, apalagi menghakimi dan menghukum kita. Keberagamaan kita sepenuhnya, 100 persen adalah urusan materi murni!

Tuhan dan Uang Membahagiakan kita…..

Sesungguhnya, yang kita maksud adalah: Tuhan yang menyediakan Uang dan Uang itu sendiri yang membahagiakan kita. Berarti, kebahagiaan manusia Indonesia sepenuhnya datang dari Uang, dari Materi.

Tidak heran, bila politisi senior kita menganggap perolehan suara di pemilu sebagai rejeki. Tidak heran pula bila kita tidak pernah lupa mengucapkan syukur kepada Hyang Maha Kuasa ketika meraih kekuasaan. Dari olahragawan hingga rohaniwan – semuanya mengharapkan materi dari Tuhan.

Nabi Isa pernah mengingatkan kita: “Carilah Dia, maka segala sesuatu yang lain akan ditambahkan kepadamu.”

Kita mencari Dia, supaya memperoleh segala sesuatu.

Sama-sama mencari, tetapi lain pencaharian Sang Nabi dan lain pencaharian kita. Sang Nabi tidak mencari untuk memperoleh sesuatu. Kita mencari dengan tujuan jelas untuk memperoleh sesuatu.

………….

Tuhan dan Uang…… Sesungguhnya yang kita maksud adalah Uang dan Uang. Materi dan Materi. Kita, sebagai bangsa, telah sepenuhnya terjebak dalam Ilusi yang disebabkan oleh Lapisan Materi. Itu saja yang terlihat oleh kita. Kita tidak dapat melihat sesuatu di balik lapisan itu.

Kedudukan, ketenaran, keberhasilan, pasangan, harta, uang – semuanya itu materi. Dan,. Semuanya itu yang membahagiakan kita. Tuhan pun menjadi bagian dari apa yang membahagiakan kita karena Ia dapat memenuhi keinginan kita akan materi.

Manusia Indonesia dan Kebahagiaan…… Barangkali kita belum mengerti arti kebahagiaan. Kita masih sepenuhnya terperangkap dalam kenyamanan sesaat, kesenangan temporer dan kenikmatan materi….. Ya Allah, ya Rabb, Gusti, Widhi, Thien, Bapa di Surga, Tuhanku, tunjukkan kepada kami Jalan yang Benar – Jalan Menuju Kebahagiaan Sejati…… Amin, Amen, Sadhu, Om Shanti…….

 

Yakin, Trust! Lampaui Logika dan Pemahaman dari Buku Belaka

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , , , on August 21, 2018 by triwidodo

Kisah Pundit dan Pengantar Susu

Seorang Master berkisah tentang Pundit (Cendekiawan, Pakar, Ahli Kitab) dan Pengantar Susu. Ada seorang Pundit yang sangat disiplin, berpegang pada jadwal waktu yang sudah terencana. Sang Pundit bangun pagi sekali, membaca pranawa dan kemudian setelah bersuci minum secangkir susu pada jam 7 pagi tepat. Kadang-kadang Pengantar Susu datang terlambat, karena dia tinggal di seberang sungai yang membatasi tempat tinggalnya dengan tempat tinggal Sang Pundit. Sang Pengantar Susu harus naik perahu tambangan untuk menyeberangi sungai. Tukang perahu tambangan tersebut kadang lebih awal atau kadang sedikit lambat, sehingga Sang Pengantar Susu sering tidak tepat waktu.

Suatu hari Sang Pundit marah dan berkata, “Kamu membuatku kesal dengan merusak jadwal disiplin saya. Tidakkah kamu tahu bahwa saya harus minum secangkir susu pada jam 7 pagi? Mengapa kamu bergantung pada perahu tambangan untuk menyeberang? Hanya mengulang nama Rama (Tuhan), kamu akan bisa berjalan menyeberangi sungai. Rama akan melihat bahwa kamu tidak tenggelam.”

Pengantar Susu yang sangat sederhana dan lugu itu yakin, trust pada kata-kata Sang Pundit. Keesokan harinya, Pengantar Susu mengulangi nama Rama dan dia dapat berjalan menyeberangi sungai. Sang Pundit bertanya, “Bagaimana kamu bisa dataang tepat waktu?” Sang Pengantar Susu menjawab, “Tuan, saya mengulangi nama Rama seperti yang Tuan katakan kemarin, dan saya bisa berjalan menyeberangi sungai. “

Sang Pundit terperangah. Dia tidak percaya, langsung minum susu dan mengajak Pengantar Susu membuktikan perkataannya. Sang Pengantar Susu menju sungai, mengulang-ulang nama Rama dan dia bisa berjalan di atas air menyeberangi sungai dan mengajak Sang Pundit mengikutinya di belakang. Sang Pundit tahu bahwa dia tidak akan bisa erjalan menyeberangi sungai karena dia tidak memiliki trust, keyakinan terhadap apa yang dia sendiri katakan – kekuataan dari menyebut Nama.

Boleh jadi Sang Pundit hapal Kitab-Kitab, akan tetapi hanya sekedar hapal dan bisa membanggakaan apa yang dia pahami. Akan tetapi dia tidak punya trust, keyakinan terhadap apa yang disebutkan dalan kitab-kitab tersebut. Otak kita berisi memori yang kita kumpulkan mulai dari sekitar 5.000 tahun yang lalu. Hanya berpengang pada logika yang dimiliki memori otak kita, kita susah melampaui logika. Meditasi bisa melampaui logika. Dan, Sang Pengantar Susu telah mempunyai keyakinan yang melampaui logika.

Melampaui Lapisan Mental dan Pikiran

Bila kita dapat melampaui lapisan mental dan pikiran kita, maka dalam alam Kesadaran yang melampaui pikiran itulah kita menemukan Inteligensia, Kecerdasan, atau apa pun sebutannya. Sesungguhnya, kita tidak berpisah dari Kesadaran, dari Inteligensia dan, dari Kecerdasan itu. Segala sesuatu adalah manifestasi dari-”Nya”.  Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2010). Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Mind dan emosi mesti menyelami diri lebih dalam lagi untuk menemukan inteligensia. Mulai belajar untuk beriman bahwasanya kedalaman diri yang telah dicapainya belum seberapa. Dan, bahwasanya tiada batas dari apa yang dapat dicapainya, bila mereka menyelam terus. Ketika mind dan emosi masuk ke dalam wilayah inteligensia murni, dualitas mulai sirna. Secara pelahan tapi pasti, mulailah kesadaran “tunggal” mengambil alih.

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” (Lukas 17:6)

Saat itu, manusia siap memasuki Kerajaan Allah: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Matius7:7) dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2010). A New Christ, Jesus: The Man and His Works, Wallace D Wattles. Re-editing, Terjemahan Bebas, dan Catatan Anand Krishna oleh Anand Krishna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Keyakinan dan Kehendak Yang Kuat, Dua-Duanya Adalah Buah Jiwa

“Have faith, trust—yakinlah! Keraguan muncul dari pertimbangan, perhitungan, logika, dan pikiran. Sementara itu, keyakinan adalah urusan jiwa. Yakinlah bila kekuatan jiwa jauh melebihi kekuatan pikiran. Dan jangan lupa, energi yang Anda keluarkan untuk berkarya, untuk bekerja, justru memperkuat jiwa Anda, iman Anda, keyakinan Anda pada diri sendiri. Pertimbangan, penilaian, semuanya bisa salah. Akal bisa akal-akalan, bisa juga mengakali. Logika hanya menggunakan informasi yang sudah dimilikinya sebagai acuan. Keyakinan adalah dari jiwa. Dan dari keyakinan seperti itu lahir kehendak yang kuat. So, trust and will power, keyakinan dan kehendak yang kuat, dua-duanya adalah buah jiwa. Urusannya dengan akal budi di dalam diri Anda, bukan dengan akal atau akal sehat saja, yang adalah buah pikiran.” Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Sang Pengantar Susu memiliki bekal keyakinan penuh dan devosi tanpa syarat.

 

Panembah Sejati Menempatkan Devosi di atas Rasio menurut Bhagavad Gita

Seorang panembah sejati tidak terjebak dalam permainan pikiran, persepsi, dan sebagainya. Dia menempatkan devosinya, penembahannya di atas rasio dan intelek.

Ini bukanlah soal “percaya-buta”, “perbudakan”, ataupun “pengultusan”. Sama sekali tidak. Sebab Krsna adalah Kesadaran Sejati Arjuna sendiri. Krsna adalah Kesadaran Sejati kita semua. Mengalahkan pikiran dan intelek demi Kesadaran Sejati menguntungkan kita sendiri; bukan perbudakan, bukan pengultusan, dan bukan percaya-buta.

Devosi atau penernbahan mendekatkan kita dengan ilahi, dengan diri kita yang sejati — dengan potensi diri yang tak terbatas, dengan intuisi, dengan kemampuan mengubah gagak-diri menjadi koyal bersuara merdu. Sementara itu, pikiran, akal-budi, intelek, pengetahuan — semuanya mengantar kita ke luar diri.

Untuk berinteraksi dengan dunia luar – Silakan menggunakan pikiran, akal-budi, dan sebagainya. Namun, untuk mengakses diri sendiri, kita mesti drop semuanya dan mesti jalan ke dalam diri dengan bekal keyakinan penuh dan devosi tanpa syarat. Bekal lain tidak berguna.

Topeng-topeng yang kita pakai sepanjang hari “barangkali” berguna untuk berhubungan dengan dunia luar. Namun, sama sekali tidak berguna untuk diri sendiri. Intelek, gelar, kedudukan — semuanya adalah atribut-atribut Iuaran, dan berguna untuk dunia luar. Untuk alam di dalam diri, kita tidak membutuhkan semua itu. Saat tidur saja, kita sepenuhnya berada dengan diri sendiri. Saat itu, kita tidak memakai jas, dasi, dan sebagainya. Saat itu kita tidak berpakaian rapi. Penjelasan Bhagavad Gita 12:20 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)

Yang Memberi itu Si Dermawan atau Tuhan? #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on February 10, 2018 by triwidodo

Dalam Bhagavatam Katha dikisahkan tentang seorang raja bijak di wilayah Andhra. Setiap hari dua pengemis datang kepada sang raja dan keduanya diberi makanan dan uang. Pengemis tua selalu mengatakan, “Puji Tuhan yang Maha Pengasih.” Sedangkan pengemis muda selalu mengucapkan, “Terima kasih atas pemberian Raja yang Pemurah.”

Pada suatu hari sang raja memberikan uang yang lebih banyak dan tetap saja pengemis tua mengucapkan, “Puji Tuhan yang Maha Pengasih.” Dan, pengemis muda selalu mengucapkan, “Terima kasih atas pemberian Raja yang Pemurah.”

Sang raja mulai bertanya, “Sebenarnya yang memberi pada mereka itu saya atau Tuhan?

Keesokan harinya, sang raja membuat rencana dia minta pengemis tua pulang lebih dahulu lewat jalan pintas yang sepi. Sang raja telah menempatkan tas berisi emas di jalan tersebut. Pengemis tua agak bingung diminta lewat jalan yang bagus, sepi dan indah, angin bertiup sepoi-sepoi basa. Sang pengemis tua menikmati perjalanan sambil menutup mata memuji Tuhan. Setelah beberapa saat pengemis yang muda diminta lewat jalan yang sama.

Esok hari berikutnya, kedua pengemis tersebut ditanya apa yang mereka alami di perjalanan kemarin. Pengemis tua menyampaikan lewat ajalan yang indah dan dia menikmatinya. Sedangkan pengemis muda berkata, “Puji Tuhan yang Maha Pengasih, saya menemukan Tas berisi emas.”

Raja mulai berpikir bahwa walau pengemis muda meyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih , namun sebenarnya raja pribadilah yang memberi rejeki.

Setelah pengemis tua pergi, sang raja memberi labu kepada pengemis muda. Sebenarnya di dalam labu tersebut sudah diisi dengan uang emas.

Pengemis muda tidak menghargai labu tersebut dan menjualnya ke pedagang buah.

Keesokan harinya, sang raja bertanya kepada kedua pengemis apa yang terjadi sebelumnya.

Pengemis muda menjawab, “Saya mohon maaf baginda raja, saya menjual labu kepada pedagang buah di tepi jalan.

Pengemis tua berkata, “Puji Tuhan yang Maha Pengasih, saya diberi labu oleh pedagang buah dan setelah saya buka, saya menemukan banyak keping emas di dalam buah labu tersebut.”

Sekarang sang raja yakin bahwa Tuhan-lah yang memberikan rejeki. Dia bersyukur bahwa dia telah menjadi alat Gusti, alat Tuhan untuk memberi………………….

Swami Anand Krishna menyampaikan nasehat pada tahun 2012: “Selalu ingat bahwa Hyang bekerja bukanlah kita. Kita hanyalah alat. Hyang bekerja adalah Dia. Serahkan semuanya kepada Dia. Kita berdoa supaya bisa menjadi alat yang baik di tanganNya – alat tanpa ego.”

 

Sebagai Alat kita dapat membebaskan diri dari dampak negatif perbuatan kita

Tidak ada perbuatan yang menghasilkan kebaikan saja. Pun, tidak ada perbuatan yang 100% jelek. Dalam tindakan yang baik pun pasti ada setitik, dua titik ketidakbaikan. Dan, dalam perbuatan jahat pun, pasti ada sedikit kebaikan.

…………..

Nah, dalam keadaan seperti ini — di mana tidak ada kebaikan 100% dan tiada pula kejahatan 100%, maka setiap orang yang berbuat baik, sebaik-baiknya, tetap saja memiliki sisi negatif, walau sedikit saja.

Tapi, jangan lupa konsekuensi kejahatan sesedikit apa pun; negativitas sekecil apa pun – ibarat nila. Setetes saja sudah cukup untuk rnerusak secawan susu mumi. Jadi kita mesti selalu waspada.

Bagaimana membebaskan diri dari setetes, dua tetes nila konsekuensi kebatilan itu? Bagaimana menyucikan diri? Bagaimana menetralisir dampak negatif dari karma kita?

Krsna menjawab:

DENGAN KESADARAN SEJATI…. Berkarya dengan penuh kesadaran, bahwa sesungguhnya Jiwa tidak tersentuh oleh akibat atau konsekuensi dari perbuatan apa pun.

Ini sisi lain dari filsafat spiritual.

Sisi yang lebih umum adalah berkaryalah dengan penuh kesadaran bahwa sesungguhnya Tuhan Hyang Berkarya, kita hanyalah alat-Nya.

Namun, dari sisi lain, Jiwa sesungguhnya tidak berkarya, adalah badan, indra, dan dan mind atau gugusan pikiran serta perasaan yang berkarya.

Kembali pada niat di balik pekerjaan — kedua-dua konsep ini mampu membebaskan kita dari dampak negatif perbuatan baik kita. Penjelasan Bhagavad Gita 4:19 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)  #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Tidak ada yang namanya kebetulan

“Kauteya (Arjuna, Putra Kunti), di bawah pengawasan-Ku, roda Samsara semesta berputar terus, menyebabkan munculnya makhluk-makhluk bernyawa, bergerak; maupun benda-benda yang tidak bergerak.”Bhagavad Gita 9:10

 

Alam ini sepenuhnya berada di bawah pengawasan-Nya. Nah, implikasi dari pemahaman ini jauh melebihi bayangan kita. Jika semuanya berada di bawah pengawasan-Nya, Roda Samsara, Alam Semesta pun berputar karena dan atas kehendak-Nya – maka, tidak ada lagi sesuatu yang bisa disebut kecelakaan…

Tidak ada pula kebetulan – Kebetulan saya berada di tempat yang salah, maka saya terlibat dalam buku tembak antara dua geng – dan ikut kena tembakan. Saya luka. ‘Tidak ada kebetulan seperti itu. Ingat, Dia adaalah Hyang Maha Mengawasi – sang Pengawas Agung.

Pengalaman suka dan duka terjadi karena perbuataan kita sendiri. Karena keterikataan kita sendiri. Ya, kita bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang menimpa diri kita. Dia- Gusti Pangeran – senantiasa mengawasi supaya semuanya berjalan lancar sesuai dengan hukum-hukum alam yang ada atas kehendak-Nya pula!

Lebih luas lagi, kepengawasan Gusti Pangeran juga berarti bahwa… Ibu Tsunami dan Taante Katrina pun berkunjung atas kehendak-Nya. Jika terjadi gempa, badai, topan- maka itu pun di bawah pengawasan-Nya. Tak ada sesuatu apa pun, kejadian sekecil apa pun yang terjadi di luar kepengawasan-Nya, yang lolos dari kepengawasan-Nya.

Kitab-kitab suci kita penuh dengan cerita-cerita tentang musibah alam – natural disaster – yang terjadi karena ‘amukan’ Gusti Allah. Gusti Allah tidak mengamuk. Perbuatan kita, ulah kita sudah cukup untuk mengundang amukan alam. Jika Gusti mengamuk, entah apa yang terjadi! Jadi, bukan karena amukan-Nya, tapi karena ulah kita sendiri. Ia mengawasi setiap keadaan, memastikan pula bila ulah kita, kekurangajaran kita tidak lolos begitu saja. Ada sebab, sudah pasti ada akibat.

Ketika terpilih sebagai Pemimpin, kita girang bukan main. Kubu kita merayakaan kemenangan. Saat itu, kita lupa bahwa sebagai pemimpin – ulah sekecil apa pun – bisa berdampak terhadap setiap orang di bawah kepemimpinan kita.

Rakyat yang memilih seorang pemimpin yang salah, mesti memikul hasil dari kesalahannya sendiri. Ramai-ramai memilih seorang pemimpin hanya karena ‘cakep’, atau ‘imut-imut sih’, membuktikan bila kita ‘belum cukup cakep’ dalam hal memilih. Lebih parah lagi, ketika kita memilih seorang pemimpin karena tergiur oleh nasi bungkus atau t-shirt. Ada nasi bungkus seharga 5 ribu, ada yang harganya 5 triliun – memilih karena janji keuntungan pribadi adalah kesalahan yang sudah pasti mengundang akibat buruk.

Kemudian, di bawah kepemimpinan seorang pemimpin seperti itu, jika kita menderita, gunung meletus, jumlah kecelakaan meningkat, atau tingkat kejahatan makin tinggi – maka, janganlah menyalahkan sang pemimpin saja. Siapa suruh memilihnya? Siapa yang memilihnya? Sekarang, nikmatilah hasil pilihan yang salah.

Sang Pengawas Agung menyaksikan semua, mengawasi semua. Sudah berulang-kali, Ia pun memberi peringatan. ‘Kalian sudah salah, lihat apa yang terjadi!’ Tapi, kita budeg, tidak mendengar peringatannya. Maka, jika terjadi hal-hal yang lebih parah lagi, janganlah meyalahkan Sang Pengawas. dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)  #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Meremehkan Pengaruh Kitab Suci #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on February 6, 2018 by triwidodo

Dalam Bhagavatam Katha dikisahkan tentang seorang bijak yang melakukan vihar, jalan-jalan ke berbagai tempat untuk berbagi pengetahuan tentang Bhagavad Gita. Dia selalu bersama beberapa orang murid yang bergantian mendampinginya. Selama 1 minggu para murid membuka perpustakaan dengan menyediakan beberapa buku Bhagavad Gita untuk dibaca para penduduk. Sebelum pergi Orang Bijak tersebut akan menanyakan adakah hal yang kurang dipahami mereka dan akan terjadi Q & A, Question and Answer Sang Bijak dengan penduduk.

Di suatu desa, para murid yang bersamanya melaporkan bahwa tidak ada satu orang penduduk pun yang membaca pesan Bhagavad Gita. Dan, para murid mengeluh.

Para murid yang diajak kali ini memberi tahu Sang Bijak, bahwa mereka sengaja menyelipkan 1 lembar mata uang dengan nilai terbesar di antara lembaran buku-buku Bhagavad Gita. Hampir satu minggu berlalu belum ada satu pun yang mengambil selipan-selipan uang tersebut, dan mereka mengambil kesimpulan bahwa tidak ada seorang pun penduduk yang membaca buku Bhagavad Gita.

Sang Bijak menegor dengan keras, “Kalian tahu tidak, yang berhak membuat komposisi racikan itu adalah seorang ‘Chef’, Koki, Kepala Juru Masak dan seorang Juru Masak harus menurut apa instruksi ‘Chef’.  Kalian sebagai ‘JuruMasak’ sudah bertindak sebagai Chef, membuat racikan sendiri tanpa mengikuti instruksi Chef!”

Sang Bijak melanjutkan, “Dasar otak lumpur! Bhagavad Gita sangat mulia sehingga membersihkan hati orang yang melihat, menyentuh dan membacanya! Mereka yang menghormati dan kemudian membacanya tidak akan terpicu untuk mengambil uang di selipan kitab. Mereka akan menyadari hidup ini adalah sebuah pergelaran sinetron belaka, kalau mereka berbuat jahat, maka mereka akan menerima balasan dan itu akan memperpanjang siklus kelahiran dan kematian mereka!”

Sang Bijak mulai melunak lagi, “Justru kalian yang bertindak tidak smart, meragukan kesucian Bhagavad Gita dan kesucian penduduk desa. Mulai sekarang kalian harus membaca Bhagavad Gita setiap hari agar kalian dituntun oleh Keberadaan menuju jalan yang benar!”

Para murid mohon maaf dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.

Bhagavad Gita: Yoga Kuno yang dirahasiakan

“(Ajaran) Yoga kuno yang dirahasiakan ini pula yang telah Ku-sampaikan kepadamu saat ini, karena engkau adalah seorang sahabat berjiwa panembah.” Bhagavad Gita 4:3

“Sebagian orang menganggap ‘ajaran tua’ sebagai sesuatu yang mesti ditinggalkan, karena sudah usang, kadaluarsa. Ya, jika sekadar ajaran, maka bisa jadi demikian. Tetapi Yoga bukan ‘sekadar’ ajaran.

Yoga adalah laku kehidupan – Yoga adalah Manual Kehidupan. Yoga adalah seperangkat Hukum-hukum Alam yang jika dilakoni, menyelaraskan kita dengan semesta. Dan, bukan itu saja – Yoga juga dapat membantu kita melampaui segala peraturan dan hukum untuk meraih Kesadaran Murni.

Sebab itu, selama masih ada kehidupan; manual ini, ajaran ini, hukum yang dapat melampaui hukum ini, tidak akan pernah usang. Tidak pernah kadaluarsa.

Yoga bukan sekadar Puratana atau Kuno, tetapi juga Sanatana, abadi, langgeng. Dan, juga SANGAT DIRAHASIAKAN – Kenapa? Jika memang universal, kenapa mesti dirahasiakan? Kenapa pula Krsna mesti menyampaikan kepada Arjuna bahwa ajaran ini disampaikan karena Arjuna adalah sahabatnya dan seseorang yang berjiwa panembah?

Kenapa tidak kepada setiap orang? Jawabannya mudah. Saat ini, Anda, pembaca ulasan ini termasuk golongan mana? Termasuk golongan ‘semua’, atau golongan Arjuna?

Jika Anda termasuk golongan semua, maka hampir 6 miliar penduduk dunia semestinya membaca Bhagavad Gita, entah ulasan ini, atau ulasan lainnya. Kenyataannya tidak demikian.

BHAGAVAD GITA ADALAH PUSTAKA YANG PALING SERING DITAFSIRKAN – Karena, memang tidak ada larangan untuk melakukan hal itu. Anda boleh seorang ahli bahasa Sanskrit, atau mengulas Gita berdasarkan terjemahannya dalam bahasa Inggris atau bahasa lain. Tidak ada institusi yang berhak untuk mengeluarkan maklumat bahwa Anda salah.

Kenapa? Karena Gita bukan milik institusi kepercayaan mana pun. Gita adalah ‘buah’ peradaban manusia, peradaban Sindhu, Shin-tuh, Hindu, Hindia, Indies, Indo, yang bersifat universal. Di zaman internet ini, Gita bisa diakses on-line oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja. Kendati demikian, apakah setiap orang mengaksesnya? Tidak.

ANDA HANYA MEMBACA APA YANG MENARIK BAGI ANDA – Dan, karena ketertarikan Anda, maka Anda membeli buku ini. Walau harganya tidak murah, karena ukurannya cukup besar, tebal, jumlah halamannya banyak. Sementara, umumnya orang kita, orang Indonesia malas membaca buku-buku tebal seukuran ini.

Berarti, Anda tidak termasuk golongan ‘umum’. Anda tidak termasuk ‘semua’ ataupun ‘mayoritas’. Anda termasuk kelompok ‘khusus’ — kelompok Arjuna — yang tidak terpengaruh oleh kebiasaan umum, dan membeli buku ini.

Bahkan, Penerbit buku ini juga demikian. Mereka, setidaknya menaruh simpati terhadap isi buku ini, dan menerbitkannya. Walau, dari segi ekonomi, mungkin lebih menguntungkan bila mereka menginvestasikan jumlah uang yang sama untuk menerbitkan 4 – 5 karya fiksi!

Tidak semua penerbit akan menerbitkan buku ini, walau saya menawarkannya kepada mereka. Apalagi penerbit yang mengkhususkan dirinya untuk menerbitkan buku-buku dari kepercayaan tertentu. Berarti, penerbit karya ini pun termasuk golongan Arjuna.

APAKAH KRSNA PILIH KASIH? Tidak, Ia hanya menawarkan nasi kepada seorang bayi yang cukup berusia untuk mencernanya. Seorang bayi mesti rnakan bubur. Tidak bisa diberi nasi.

Ajaran ini dirahasiakan — implikasinya adalah sama seperti Peringatan Keamanan di atas Kantong Plastik – Amerika dan Eropa mengharuskan hal tersebut – supaya dibuang di tempatnya, dan tidak dijadikan mainan oleh anak-anak kecil, yang dapat membahayakan nyawa mereka.

Mau beli mainan, ada rekomendasi ‘Cocok untuk’ usia sekian-sekian. Dus obat ada peringatannya juga, ‘Simpanlah di tempat yang sejuk, jauhkan dari jangkauan anak-anak.’

KATA ‘RAHASIA’ DI SINI MESTI DIMAKNAI dalam konteks demikian. Se-universal apa pun Bhagavad Gita, tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang belum cukup berwawasan, yang masih berpandangan sempit.

Berbagai kepercayaan mengharuskan anak-anak kecil untuk menghafal kitab suci. Mengerti, tidak mengerti — asal hafal. Tidak demikian dengan Gita.

Menghafal Gita, menyanyikan dengan suara semerdu apa pun — semuanya tidak berguna, jika kita tidak menghayatinya. Dan, untuk itu — dibutuhkan tingkat kedewasaan tertentu. Bukan saja kedewasaan dalam arti usia, tapi dalam arti mental serta emosional, dan inteligensia.

Kadang seorang anak berusia 5-6 tahun sudah cukup dewasa — inteligensianya sudah cukup berkembang. Kadang, seorang tua berusia 50-60 tahun pun masih berpandangan sempit dan belum siap mempelajari pustaka universal seperti Gita.

’KEMATANGAN DIRI, KEDEWASAAN DIRI, Kesiapan Diri yang dibutuhkan untuk rnemahami Gita, Yoga, Ajaran Kuno nan Rahasia ini adalah:

1) Keterbukaan untuk menerima sesuatu yang ‘baru ‘ – baru bagi yang bersangkutan, walau sesungguhnya ajarannya bukanlah sesuatu yang baru.

Keterbukaan ini bisa diartikan sebagai Sifat Jiwa yang Bersahabat. Tidak mentah-mentah menolak, ‘Kami sudah punya kitab pegangan sendiri, sesuai dengan kepercayaan kami. Tidak perlu mempelajari kitab-kitab lain.

 

Penolakan seperti itu membuktikan bila Jiwa masih tertutup oleh kabut ilusif dualitas. Kita belum mau menuju Hyang Tunggal, kita baru memberi lip-service pada konsep Hyang Tunggal. Kita belum siap untuk manunggal.

2) Tidak mempelajari sesuatu dengan apriori, dengan semangat untuk mencari-cari kesalahan, untuk rnernbuktikan bahwa ‘hanyalah kitab kami yang mengandung kebenaran’. Kitab-kitab lain tidak mengandung kebenaran.

Sikap apriori seperti ini bertolak belakang dengan semangat manembah. Semangat manembah tidak berarti kita memuja Gita atau membeli poster lukisan Krsna dan Arjuna untuk menghiasi dinding di rumah. Jika kita tertarik untuk melakukan hal itu, silakan – siapa yang dapat melarang?

Tapi, hal itu tidak menjamin bila kita sudah bersemangatkan seorang panembah. Belum. Semangat manembah berarti kita melihat segala kebenaran berasal dari Hyang Maha Benar yang  Satu, Tunggal. Dan, mempelajari Gita dengan semangat itu, bukan untuk perbandingan dan mencari kesalahan.

Jika kedua kriteria ini terpenuhi, maka kita ‘menjadi’ seorang Arjuna; mitra, sahabat, dengan semangat manembah.

Kemitraan dan panembahan dalam ayat ini mengacu pada sifat-sifat generik. Berlaku bagi setiap orang yang hendak, sedang, dan akan mempelajari Gita. Semangat inilah yang telah mendorong saya untuk kesekian kalinya mengulas kembali ajaran Hyang Dirahasiakan ini. Semangat sama menggerakkan hati penerbit untuk menerbitkannya. Dan, semangat yang sama membuat Anda membeli buku ini, atau barangkali meminjamnya, untuk dibaca, diselami. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) ) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Bhakti Jatayu di Ujung Kematian #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on February 5, 2018 by triwidodo

Dalam Bhagavatam Katha dikisahkan tentang Jatayu, burung pemakan bangkai yang sudah tua. Dia adalah raja burung tapi dengan ketuaannya kekuatan dia sudah melemah. Di angkasa dia mendengar teriakan Ibu Sita, isteri Sri Rama yang sedang dibawa terbang Ravana. Jatayu nekat memberhentikan Ravana dan terjadilah pertarungan dahsyat.

Tidak usah melakukan pertarungan pun dalam waktu tidak begitu lama Jatayu akan sakit-sakitan dan meninggal. Dalam pertarungan jelas Jatayu kalah dan terluka parah. Jatayu mendesah, “Jika tubuhku sudah tidak bisa melayani Sri Rama dengan menyelamatkan Ibu Sita, maka saya siap berhenti menggunakan tubuh ini!”

Di saat-saat terakhir, Sri Rama dan Lakshmana datang dan Jatayu memberi tahu Sri Rama kemana arah Ravana membawa Ibu Sita. Jatayu mohon maaf atas kegagalannya memberhentikan Ravana. Jatayu tetap memberi semangat pada Sri Rama, karena dia berada di ambang kematian, dia bisa mengetahui bahwa Sri Rama akan dapat menemukan Ibu Sita kembali nantinya.

Pada saat terakhir Jatayu masih bisa mohon mukjijzat dari Sri Rama untuk menyembuhkannya, tapi dia tidak melakukan hal demikian, kalau tubuhnya sudah tidak dapat digunakan untuk melayani Gusti lebih baik dia meninggalkan tubuh tersebut.

Sri Rama bersama Lakshmana mengkremasi tubuh Jatayu dan merasa sangat sedih. Kehilangan Jatayu terasa lebih sakit daripada kehilangan Sita.

Kita-kita yang sudah tua, apakah masih mohon mukjizat saat sakit parah dan tidak ada harapan lagi? Apa yang terpikirkan kita menjelang ajal menjemput? Ingat keluarga yang ditinggalkan? Usaha yang dirintis akan berjalan bagaimana? Apakah di usia uzur kita masih berkarya melayani Gusti?

Itulah yang dialami Jatayu. Pikiran menjelang ajal bukan tentang masalah duniawi, melainkan hanya terpusat pada Gusti, karena Gusti hadir secara pribadi menjelang kematiannya.

Dulu, sewaktu kita masih kecil, kita merasa kasihan, Jatayu mati sia-sia melawan Ravana. Sekarang setelah tua dan sadar bahwa maut bisa menjemput kapan saja, Jatayu adalah teladan mati yang baik. Bisakah kita meninggal dengan fokus pikiran pada Gusti? Dengan fokus pada Gusti maka peran di dunia selesai dan tidak akan lahir lagi. Akhir yang baik bagi Jatayu.

Kita menghormati seseorang yang mengatakan bahwa seseorang meninggal dalam keadaan baik, syukur bisa mengucap nama Gusti di akhir kehidupan. Dengan fokus pada Gusti dan tidak fokus pada dunia, peran di dunia telah terselesaikan dengan baik…… Bisakah kita mengalami hal yang demikian? Bukan hanya kata beberapa orang dan doa para takziah yang melawat kita? Tetapi benar-benar fokus pada Gusti saat ajal menjemput?

Saat ajal tiba adalah akhir satu episode kehidupan menurut  Bhagavad Gita

Saat ajal tiba – ini adalah closing scene atau adegan akhir dalam salah satu episode kehidupan kita. Tentunya, adegan akhir ini menjadi awal dari episode baru. Akhir adegan dalam episode ini, mengantar kita pada adegan pembukaan dalam episode berikutnya.

……………

Jika sepanjang hidup yang terpikir adalah dunia benda saja, maka saat ajal tiba, sesaat sebelumnya, kita tidak bisa, tidak mungkin, mengalihkan kesadaran pada-Nya. Saat itu yang terpikir adalah rumah, kerabat, keluarga; istana, yang telah kita bangun dan ‘belum cukup’ menikmatinya; perusahaan, yang kita tidak yakin akan dikelola dengan baik oleh ahli waris kita — dan sebagainya, dan seterusnya.

Pikiran terakhir, kesadaran terakhir saat mengembuskan napas terakhir — sama sekali tidak ada kaitannya dengan segala ritus yang kita lakukan sepanjang hidup, segala amal-saleh atau dana-punia. Jika semuanya itu kita lakukan untuk pamer, dan bukan sebagai persembahan kepada-Nya_

Pemusatan kesadaran pada-Nya mesti dilakukan mulai sekarang dan saat ini juga – sehingga saat ajal tiba kesadaran kita tidak ke mana-mana; tetap terpusatkan pada-Nya. Penjelasan Bhagavad Gita 8:5 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

 

Apa yang terpikir saat ajal tiba menurut Bhagavad Gita

“Apa pun yang terpikirkan saat ajal tiba, saat seseorang meninggalkan badannya, wahai Kaunteya (Arjuna, Putra Kunti), itu pula yang dicapainya setelah meninggalkan badan. Sebab, pikiran terakhir adalah sama seperti apa yang terpikir olehnya secara terus-menerus sepanjang hidup.” Bhagavad Gita 8:6

Ayat ini adalah penegasan atas apa yang telah kita bahas dalam ayat sebelumnya. Kita tidak bisa memikirkan kebendaan sepanjang hidup, kemudian sesaat sebelum ajal tiba, kita mengubah channel. Dalam konteks ini, boleh dibilang kita tidak memegang remote-control.

Saat itu, batere remote-control pun sudah aus, habis. Tidak bekerja lagi. Diri kita sangat lemah untuk bangun dan mengubah channel. Orang lain tidak bisa mengubah channel untuk kita, karena, sesungguhnya setiap orang memiliki pesawat televisi pribadi. Setiap orang hanya menonton program-program “buatannya” sendiri di channel pribadi dan pesawat pribadi!

Guruku selalu mengingatkan bahwa…..

DEWA MAUT IBARAT SEORANG FOTOGRAFER, “Jika mau fotomu bagus, maka tersenyumlah selalu, karena kau tidak tahu kapan Sang Fotografer akan mengambil fotomu. Bersiap-siaplah untuk difoto setiap saat.”

Alihkan kesadaranmu pada Sang Gusti Pangeran, walau kaki, tangan, badanrnu masih tetap bekerja di dunia ini. Biarlah indra melaksanakan tugas mereka masing-masing – namun kesadaranmu selalu terpusatkan pada-Nya! Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

 

Jalan Bhakti

Tidak ada jalan lain, kita harus belajar seperti Jatayu yang selalu ingat Gusti, sehingga saat ajal menjemput kita hanya  fokus pada Gusti.

Inilah jalan bhakti, seperti yang dilakoni para gopi di Brindavan, tetap bekerja menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sehari-hari tapi fikiran hanya terfokus pada Gusti (Krishna).

Seperti kehidupan Meera Bhai, setiap saat yang dipikirkan hanya Gusti (Krishna)………

3 Macam Kepercayaan Sesuai Sifat Dasar Pengikutnya #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 29, 2018 by triwidodo

Dalam kisah-kisah Sikh ada sebuah cerita dua saudara seperguruan memperoleh kehormatan bertemu dengan seorang Grand Master. Kedua siswa tersebut mendaki sebuah gunung yang tinggi menuju kuil terpencil yang sangat indah.

Murid Yunior pertama kali menghadap Grand Master dengan penuh kebahagiaan. Sang Grand Master minta Sang Murid Yunior melihat lewat jendela mistik. Sang Murid Yunior melihat dirinya memegang pedang suci dan sebuah kitab suci. Sang Murid Yunior berkata kepada Master apa yang dilihatnya dan berkomentar, bila dia menjadi seperti itu maka dia adalah orang hebat. Grand Master menjawab, benar bahwasanya dia memang sangat istimewa bagi Tuhan.

Sang Murid Yunior segara pamit minta izin akan berbagi pengetahuan yang dimilikinya, dan yakin bahwa dirinya adalah orang yang terpilih untuk berbagi. Sang Grand Master berkata memang dia harus melakukan hal tersebut.

Giliran Murid Senior menghadap Sang Grand Master dan diminta melihat lewat jendela mistik. Sang Murid Senior melihat dirinya memegang pedang dan kitab suci. Sang Murid Senior berkata kepada Master apa yang dilihatnya dan berkomentar, bila dia menjadi seperti itu maka dia adalah orang hebat. Grand Master menjawab, benar bahwasanya dia memang sangat istimewa bagi Tuhan.

Sang Murid Senior melanjutkan, jika dia hebat, istimewa bagi Tuhan apakah itu berarti dia harus menyebarkan kebenaran? Grand Master menjawab, memang demikian.

Tetapi Sang Murid Senior tidak langsung pergi, dia bertanya kepada Grand Master mengapa orang-orang suci selalu memegang buku suci dan sebilah pedang? Grand Master menjawab, Tuhan telah memberi banyak anugrah, akan tetapi kita perlu fokus  untuk mengingat apa yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Sang Murid Senior bertanya apakah dia perlu fokus mengingat semua anugrah-Nya?

Grand Master menjawab, memang kita perlu perhatian untuk mengingatnya dan dibutuhkan hati seorang penyair untuk menghargai anugrah tersebut. Kitab Suci itu seperti puisi yang mengalir.

Murid Senior mulai menarik napas dalam-dalam dan membuang napas pelan-pelan. Dan berkata dalam hati, “Saya menggunakan fokus seperti pedang untuk mengingat anugrah alam semesta kepada saya…. Hati saya mencair dan saya ingin menyanyikan lagu-lagu pujian yang tak terbatas selamanya.”

Sang Murid Senior menyadari bahwa dia telah menggunakan Kitab Suci dan Pedang, “Saat ini saya menggunakan fokus pedang dan hati saya mengalir seperti puisi di halaman buku!”

Grand Master tersenyum dengan bahagia……..

Pada saat kedua murid tersebut turun gunung, Sang Murid Yunior mengumpulkan penduduk dan berkata, “Dengarkan aku, dengarkan aku!”  Orang-orang bertanya apakah dia bertemu Grand Master dan disuruh melihat lewat jendela mistik? Banyak orang yang percaya kepadanya dan percaya apa yang dia katakan. Dia menjadi sangat terkenal dan memiliki banyak pengikut.

Sang Murid Senior turun dari gunung sambil tersenyum dan bersenandung dengan bahagia. Beberapa orang yang tidak mengikuti Murid Yunior melihat Murid Senior tampak damai. Mereka bertanya apa yang dia lihat saat bertemu Sang Grand Master? Dia tersenyum dan berkata, “Saya melihat Tuhan telah memberi kita banyak anugrah…….”

Orang ingin lebih banyak mendengar dari Murid Senior dan mereka mengikutinya.

Kita bisa membayangkan, kepercayaan bagaimana yang mengikuti suri keteladanan Murid Yunior, yang ada ego sejak di permulaan. Para pengikutnya pun semakain lama semakin keras, mereka merasa hanya pandangan mereka yang benar, yang lain salah. Keluarga, kerabat, kelompok, partai, atau siapa dan apa saja yang ikut bertumbuh bersama kita, adalah perpanjangan diri kita. Mereka tidak mewakili masyarakat umum. Mereka adalah bagian dari ego kita, keluarga-“ku”; kelompok-“ku”; umat-“ku”. Demikian kepercayaan yang mengikuti Murid Yunior. Kepercayaan berdasar attitude, sikap diri.

Sedangkan para pengikut kepercayaan yang mengikuti Murid Senior, selalu bersyukur atas anugrah Tuhan. Kesadaran mereka meluas dan mencakup seantero alam, seluruh umat manusia. Saat itu, tiada lagi ego-diri yang mengaku, “aku sudah berbuat”. Saat itu, hanyalah kesadaran pelayanan yang ada. Apa pun yang kita lakukan adalah persembahan pada semesta. Semangat kerja seperti itulah yang membebaskan mereka dari keterikatan. Kepercayaan berdasar gratitude, syukur.

Kepercayaan Setiap Orang Selaras dengan Sifat Dasarnya menurut Bhagavad Gita

 “Wahai Bharata (Arjuna, keturunan Raja Bharat), Kepercayaan setiap orang adalah selaras dengan sifat dasarnya. Sesungguhnya, kepercayaan membentuk kepribadian manusia. Ia adalah sesuai dengan apa yang dipercayainya.” Bhagavad Gita 17:3

Jika kita percaya pada Tuhan sebagai Kebenaran Mutlak Hyang Maha Ada — maka kita akan melihat wajah-Nya di setiap penjuru dunia, bahkan di setiap penjuru alam semesta.

JIKA KITA PERCAYA PADA TUHAN SEBAGAI “PERSONA” – Walau kita rnenyebutnya abstrak, maka kita akan melihat-Nya dalam kepercayaan kita sendiri. Kita tidak bisa melihat-Nya dalam kepercayaan orang lain.

Kemudian, kitab suci di tangan kita itu menjadi satu-satunya kitab yang tersuci. Kepercayaan kita menjadi kepercayaan yang terbaik, paling mulia. Cara kita beribadah menjadi satu-satunya cara yang dapat menghubungkan kita dengan Tuhan. Cara-cara lain menjadi sesuatu yang malah menyesatkan. Demikian anggapan kita.

Terakhir, jika kita percaya pada ego kita sendiri, pada badan, benda, dan alam kebendaan —maka, Walau tampak rajin beribadah, sesungguhnya kita menjadi pemuja materi. Kita tidak mampu lagi menyaksikan Kemuliaan Jiwa! Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

 

Kepercayaan yang berlandaskan Sattva, Rajas dan Tamas menurut Bhagavad Gita

MEREKA YANG KEPERCAYAANNYA BERLANDASKAN Sattva tidak akan menyakiti sesama makhluk, apalagi membunuh, menyembelih dan menyantap dagingnya demi kenikmatan lidah. Mereka juga tidak mencemari lingkungan dengan asap rokok dan sebagainya.

Kelompok kedua adalah mereka yang kepercayaannya berlandaskan Rajas. Mereka disebut sebagai pemuja yaksa dan raksasa atau pemuja materi. Di bagian lain kita sudah menjelaskan yaksa dan raksasa secara harfiah. Dalam konteks ayat ini, kita memahaminya dari sudut pandang yang beda, dari relevansinya dengan keseharian hidup kita. Pemuja yaksa menyalahgunakan kekuatan-kekuatan dan berkah alam demi kepentingan diri.

Energi yang dapat menghidupi, disalahgunakan untuk mematikan. Sebagai contoh, Iistrik bisa digunakan untuk menunjang kehidupan, dan bisa juga untuk mematikan. Penyalahgunaan elemen-elemen alami lainnya, tennasuk ‘menjual air minum’ yang merupakan kebutuhan manusia paling mendasar, adalah karena. ulah mereka yang berkepercayaan Rajasi. Mereka adalah pemuja yaksa.

Raksasa adalah para materialis pemuja pejabat korup, pemimpin yang zalim, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap ‘kekuatan benda’, materi adalah kepercayaan Rajasi.

SAAT INI, MAYORITAS BERADA DALAM KELOMPOK KEDUA – Walau rajin beribadah dan keluar masuk tempat ibadah beberapa kali setiap hari atau setiap minggu, sesungguhnya kita percaya pada kekuatan-kekuatan duniawi, pada materi, tidak pada kekuatan Ilahi.

Kelompok ini berperilaku seperti asura — tidak selaras dan seirama dengan semesta. Mereka adalah orang-orang yang tidak cukup percaya diri. Mereka percaya pada fasilitas yang dapat dibelinya dengan mudah dari orang-orang yang tidak bemoral, para pejabat korup; atau, siapa saja yang memiliki kekuasaan, kewenangan; dan, mahir menyalahgunakannya.

TERAKHIR ADALAH KEPERCAYAAN BERLANDASKAN TAMAS – Percaya pada roh-roh mereka yang sudah mati dan gentayang adalah kepercayaan pada ‘tulisan-tulisan’ — ide-ide, pandangan-pandangan yang sudah tidak relevan. Mereka menutup diri terhadap perkembangan zaman. Mereka hidup di masa lalu.

Kepercayaan mereka adalah kepercayaan buta, dimana ‘apa yang tertulis’ menjadi sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, bahkan tidak boleh diinterpretasi ulang. Mereka anti-modernisasi, dalam pengertian anti-dinamika kehidupan. Anti segala sesuatu yang baru. Mereka adalah orang-orang yang selalu membela status quo. Mereka tidak berpihak pada reforrnasi, apalagi transformasi. Mereka hidup di masa lalu.

Saya yakin tidak seorang pun pembaca yang berada dalam kelompok ketiga yang amat sangat membahayakan perkembangan Jiwa, bahkan menghentikannya. Penjelasan Bhagavad Gita 7:4 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Penjahat Terbejat Bisa Menjadi Bijak #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 26, 2018 by triwidodo

Dikisahkan Guru Nanak bepergian ke sebuah desa dan ada seorang pencuri bernama Bhoomi Daku yang mengundangnya singgah ke rumahnya. Guru Nanak berkenan apabila Bhoomi Daku berjanji melakukan 4 hal:

  1. Tidak mencuri dari rumah orang miskin.
  2. Selalu bicara jujur.
  3. Apabila pergi ke rumah seseorang dan makan dari rumah tersebut, dia tidak akan mencuri di rumah tersebut.
  4. Tidak pernah mengkambing-hitamkan seseorang.

Bhoomi Daku berjanji menaati keempat janji tersebut dan Guru Nanak singgah di rumahnya. Mereka menikmati malam penuh kebahagiaan bersama, sebelum Guru nanak melanjutkan perjalanannya.

Pada malam keesokan harinya, Bhoomi Daku keluar untuk mencuri. Dia tidak dapat lagi mencuri dari orang miskin, dan dia memutuskan untuk mencuri di istana seorang raja. Dia berupaya menyelinap tapi ditangkap para pengawal raja. Para pengawal bertanya siapakah dia dan Bhoomi Daku menjawab dengan jujur sesuai pesan Guru Nanak, “Nama saya Bhoomi Daku dan saya ke sini mau mencuri di rumah raja!” Para pengawal raja tertawa, dan mengatakan, “Jangan membuat lelucon, Tuan pasti teman Raja, silakan masuk!”

Bhoomi daku masuk ke istana raja dan mencuri banyak perhiasan berharga dan dimasukkan kantong. Tiba-tiba Bhoomi Daku mencium bau yang sangat harum, seperti kue coklat. Dia masuk dapur dan makan kue coklat kesukaannya. Tiba-tiba Bhoomi Daku ingat janji pada Guru Nanak, bahwa dia tidak akan mencuri di rumah seseorang karena dia telah makan di rumah orang tersebut. Dia segera menjatuhkan kantongnya dan menyelinap ke luar istana.

Pada pagi hari, raja mendengar beberapa kue hilang dan melihat kantong berisi harta istana tergeletak di jalan. Para pengawal raja mengumpulkan penduduk dan mulai memukuli mereka yang dicurigai. Bhoomi Daku mendengar hal tersebut dan ingat janji keempat pada Guru Nanak.

Bhoomi Daku berkata, “Jangan menghukum mereka, mereka tidak bersalah, sayalah yang melakukan pencurian!”

Para pengawal membawa Bhoomi Daku menghadap Raja yang berkata, “Tidak ada seorang pun yang mencurigai Anda, mengapa Anda mengaku sebagai pencuri?”

Bhoomi Daku berkata, “Paduka Raja, saya telah berjanji pada Guru saya saya tidak akan mencari kambing hitam atas tindakan saya!”

Raja terkesan akan cerita Bhoomi daku dan berkata, “Saya tidak akan menghukum Anda, silakan Anda bebas untuk pergi!”

Bhoomi daku bertanya, “Akan tetapi Paduka Raja bagaimana dengan penduduk yang telah dipukuli para pengawal?”

Raja memutuskan mengadakan pesta besar mengundang semua penduduk. Bhoomi Daku berkata, “Saya tidak mengetahui Guru Nanak sekarang berada di mana, tapi saya akan menepati 4 janji yang saya buat dengan Beliau.”

Raja dan semua penduduk bahagia, para penduduk bergiliran memberi makanan kepada Bhoomi Daku dan Bhoomi Daku bertobat tidak menjadi pencuri lagi…………………..

Beruntunglah Bhoomi Daku yang telah bertemu Guru Nanak, dia telah menjadi pelayan dari pelayan Gusti…………

Penjahat Terbejat bisa menjadi seorang Sadhu

Sekalipun seorang penjahat terbejat memuja-Ku dengan penuh keyakinan dan kasih serta dengan segenap kesadarannya terpusatkan pada-Ku – maka ia mesti dianggap sebagai seorang bijak, seorang sadhu yang telah menemukan kedamaian di dalam dirinya, karena ia telah bersikap yang tepat.” Bhagavad Gita 9:30

 

Penjahat sebejat apa pun, jika berpaling pada-Nya, maka ia mesti dianggap seorang sadhu – seorang bijak berhati tenang, damai. Ia telah berhasil menenangkan pikirannya serta emosinya, yang sebelumnya selalu bergejolak.

Dalam hal ini adalah penting untuk memahami “jenis” bhakti ala Krsna…..

Krsna mengaitkan bhakti atau pemujaan, panembahan, devosi, dengan kasih. Bhakti, yang biasa diterjemahkan sebagai berbakti, mengabdi, atau memuja – sesungguhnya, memiliki makna yang jauh lebih dalam. Bhakti adalah semua itu plus dengan penuh kasih. Landasannya adalah kasih, kasih yang tak bersyarat dan tak terbatas.

Seorang anak bisa saja berbakti pada orangtuanya dengan harapan terselubung untuk mendapatkan warisan. Atau, rnendapatkan lebih banyak dari saudara-saudaranya. Karena, toh saudara-saudaranya tidak mengunjungi orangtua sesering dirinya, walau ia tidak mengungkapkan hal itu. Niat saja sudah cukup untuk menodai baktinya. Ia belum berbhakti.

Seorang hamba, seorang pengabdi pun sama. Ia bisa berhamba, mau mengabdi karena digaji, atau seperti para abdi-dalem di keraton-keraton kita. Gaji mereka tidak seberapa, tapi mereka puas dengan kedudukan mereka sebagai abdi-dalem. Mereka pun mengabdi demi posisi itu, demi gelar itu, demi penghargaan itu, demi identitas itu. Bagi kita, identitas “abdi-dalem” mungkin tidak berarti apa-apa. Tapi bagi mereka sangat berarti. Bagi mereka, identitas itu adalah jauh lebih berharga daripada uang jutaan per bulan. Jadi, di balik pengabdian dan penghambaan, mereka pun masih ada pamrih.

Pengabdian dan penghambaan kita pada Gusti Pangeran pun sama. Ada yang mengharapkan rezeki dari Gusti, ada yang mengharapkan kehorrnatan dari masyarakat, “Dia seorang saleh, dia begini, dia begitu………

 

BHAKTI MESTI BERLANDASKAN CINTA-KASIH tanpa batas dan tanpa syarat. Ditambah lagi dengan kata ananya – berarti, dengan segenap jiwa, raga, perasaan, pikiran, intelegensia, semuanya terpusatkan. Dengan kesadaran tunggal. Termasuk, ia tidak lagi memisahkan profesi, pekerjaan, kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, lingkungan, dan lainnya – dari bhaktinya, dari pemujaannya.

Hidup dia telah berubah menjadi aksi-bhakti. Ia menginterpretasikan bhakti lewat hidupnya. Ia menerjemahkan bhakti dalam bahasa tindakan nyata. Dan, ia melakukan semua ini karena ia melihat Wajah Gusti Pangeran di mana-mana. Baginya melayani sesama makhluk adalah ungkapan cintanya bagi Gusti Pangeran.

Baru setelah itu….. Jika seorang penjahat – sebejat apa pun – menginsafi dirinya, menyadari dirinya sebagai percikan Jiwa Agung, berpaling, dan mengubah hidupnya menjadi Berita-Baik; kemudian, melayani sesama makhluk, bukan saja sesama manusia; maka, ia dinyatakan sebagai seorang sadhu. Pikirannya sudah tenang; perasaannya tidak bergejolak; raga dan indranya terkendali; jiwanya damai; dan di atas segalanya perbuatannya mencerminkan ketenangan serta kedamaian dirinya. Ia menjadi wahana ketenangan dan kedamaian. Ia seorang sadhu……. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Mengendalikan Raksasa dengan Mantra #BhagavadGitaIndonesia

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 23, 2018 by triwidodo

Dalam cerita-cerita Sikh di internet dikisahkan ada seorang petani yang sedang menggali tanah. Tiba-tiba dia menemukan guci, mengira isi guci adalah harta berharga dia membuka guci tersebut dan tiba-tiba keluarlah raksasa dari dalam guci tersebut.

Raksasa tersebut berkata, “Saya akan melayani Anda, apa pun yang Anda minta saya lakukan. Tapi Anda harus membuat saya sibuk, kalau saya tidak bekerja saya akan bosan, lapar dan Anda akan saya makan!”

Petani tersebut minta Raksasa tersebut mengeluarkan semua batu dari ladang dan dan kemudian menyiapkan lahan untuk dapat ditanami.

Raksasa tersebut bersedia dan abrakadabra semua pekerjaan terselesaikan.

Bingung juga sang petani memikirkan pekerjaan apa yang menyibukkan sang raksasa. Kembali sang petani minta dibuatkan rumah dengan kayu khusus dan ukir-ukiran yang sulit.

Raksasa tersebut bersedia dan abrakadabra pekerjaan tersebut selesai. Sang petani semakin stress. Dia takut tidur karena ancaman sang raksasa akan memakannya bila dia tidak diberi pekerjaan.

Akhirnya sang petani berkata, “Saya ingin membuat pilar setinggi 40 m dan kemudian kau memanjatnya sampai atas dan kemudian turun sampai bawah dan memanjat lagi. Demikian seterusnya dan jangan berhenti sebelum saya memintamu mengerjakan pekerjaan lainnya.”

Sang petani bisa tenang sementara dan segera saja dia mencari Guru Pemandu untuk belajar bagaimana caranya menundukkan sang raksasa.

Dalam diri kita, kita juga punya raksasa yang siap melayani kita, akan tetapi kalau dia tidak dikendalikan maka kita akan dimakannya. Raksasa itu adalah mind kita……….

Mengendalikan mind dengan cara melampaui mind

Sahabat: Sulit sekali Pak, melampaui pikiran ini, Soalnya segudang memori dari masa lalu, ada saja yang muncul lagi, muncul lagi. Bagaimana deal with those memories, Pak? Karena satu memori mengantar pada memori lain, lalu memori yang lain lagi, lain lagi….. begitu terus. Puyeng Pak.

Anand Krishna: Setiap pikiran, perasaan, termasuk memori masa lalu yang muncul ke permukaan, membutuhkan energi pendorong.

Sebetulnya tidak perlu merasa terganggu. Biarkan saja, saksikan tanpa melibatkan diri. Berarti, tidak memberikan label apa pun kepada pikiran, perasaan, atau memori yang muncul. Muncul, ya muncul. Sebentar lagi juga berlalu. Namun, kalau merasa sangat terganggu—hanya kalau merasa sangat terganggu—, coba ciptakan cabang bagi energi pendorongnya. Gunakan energi cabang yang baru diciptakan itu.

Bagaimana menciptakan cabang?

Salah satu cara yang paling mudah adalah melihat gambar, Iukisan, patung, atau apa saja yang terkait dengan spiritual. That is, jika Anda berada di rumah, dan tidak punya beban mental/emosional yang tercipta oleh pemahaman keliru tentang “benda-benda” tersebut. That is, jika Anda menganggapnya sebagai tools, alat untuk laku spiritual. Jadi, Anda tidak terjebak dalam hal berhala-memberhalakan.

Alat-alat seperti itu disebut yantra. Tidak hanya berbentuk patung atau Iukisan, dalam tradisi spiritual yang bersumber pada mistisisme timur kuno, yantra lebih banyak berbentuk sacred geometry, bahkan aksara, kaligrafi, dan sebagainya.

Cara kedua: Mudra, gerakan-gerakan tangan dan jari yang juga bermanfaat bagi kesehatan badan, pikiran, dan perasaan.

Ini adalah ilmu tersendiri. Dalam kesempatan lain akan kita bahas secara lebih detail sebab banyak buku yang membahasnya dari satu sisi saja, yaitu sisi yang terkait dengan yoga asana, yoga sebagai gerakan badan. Unsur spiritualnya tidak banyak dibahas.

Cara ketiga: Mantra atau manasa yantra, alat untuk mengendalikan gugusan pikiran serta perasaan. Mantra juga membebaskan kita dari keterikatan, termasuk dari memori-memori masa Ialu.

Berdasarkan pengalaman saya, lebih banyak orang terbantukan oleh mantra. Maka, hampir semua kepercayaan menganjurkannya—walau dengan sebutan, cara, dan tentu ucapan yang berbeda.

Sebab, energi yang dibutuhkan untuk mengucapkan mantra

Jauh lebih banyak daripada apa yang dibutuhkan untuk melihat yantra dan melakoni mudra. Meski diucapkan dalam hati, tetap saja butuh lebih banyak energi daripada dua cara sebelumnya. Apalagi jika sambil merenungkan makna dari apa yang diucapkan, yang adalah bagian penting dari mantra sadhana—laku mantra.

Jika Anda tidak memiliki seorang pemandu yang dapat memandu Anda dalam memilih mantra yang paling cocok bagi Anda, gunakan saja salah satu yang bersifat universal, sebagaimana sudah sering dibahas (telah diulas juga dalam dua teks terpenting yoga yang diterbitkan beberapa waktu lalu:  Bhagavad Gita bagi Orang Modern dan Yoga Sutra Patanjali bagi Orang Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2015).

Jika Anda alergi terhadap mantra, sebab menyalahkaitkannya dengan jampi-jampi, silakan menciptakan mantra sendiri. Sebuah afirmasi seperti “Aku Tenang”, “Aku Bahagia”, dan sebagainya adalah mantra juga. Anda bisa menggunakannya sebagai manasa yantra, alat untuk mengendalikan gugusan pikiran dan perasaan.

Dengan mengucapkan mantra pilihan Anda berulang-ulang, energi pendorong akan bercabang. Justru pengucapan mantra berulang-ulang itu menjadi cabang utama. Demikian, memori-memori masa lalu akan kekurangan energi, hingga akhirnya mundur teratur. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2016). Soul Awareness, Menyingkap Rahasia Roh dan Reinkarnasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Manfaat Mantra dalam Bhagavad Gita

Dewa adalah makhluk-makhluk yang tinggal dan hidup dalam cahaya. Ucapan serta perbuatan mereka tergerak oleh nurani. Mereka adalah makhluk-makhluk bersanubari. Mereka masih mampu mendengarkan suara hati. Dan, mereka dapat ditemukan di mana-mana. Tidak perlu mencari mereka di langit, di surga, di kahyangan. Banyak para dewa di antara kita. Banyak para dewa yang sengaja berada di tengah kita untuk memandu kita.

Mereka tidak “datang” ke dunia karena urusan karma. Mereka “datang” untuk memandu Jiwa-Jiwa yang membutuhkan panduan mereka. Para resi yang mampu “melihat” dan merasakan kehadiran mereka, walau berwujud seperti manusia biasa, menemukan cara termudah untuk mengetahui mereka dan memperoleh panduan bimbingan mereka.

Cara tersebut adalah Mantra-Yoga. Dengan suara-suara tertentu, getaran-getaran tertentu – ditambah dengan kekuatan niat yang mulia, hati yang bersih – kita dapat mengadakan hubungan seluler, bahkan menciptakan hot-line dengan mereka.

Sebagian orang menganggap hubungan seperti ini sebagai bentuk kurang percaya pada Gusti Pangeran. “Kenapa mesti mengakses mereka? kenapa tidak berhubungan dengan Tuhan langsung. Kenapa mesti menduakan Tuhan?”

Banyak pembantu di rumah orangtua kita, jika kita membutuhkan sesuatu yang dapat diperoleh dari pembantu, lewat pembantu – mestikah kita menyusahkan orangtua? Banyak pekerjaan, banyak tugas yang memang sudah dipercayakan kepada para pembantu. Mantra-Yoga hanyalah membuat kita mengakses para Dewa, para Pembantu, para Lightworkers – ada yang berwujud dan ada yang tidak – itu saja.

Setelah terjadinya akses, setelah terjadinya hubungan – tanpa diminta pun, mereka senantiasa siap-sedia untuk melayani segala kebutuhan, segala keperluan Jiwa untuk mencapai tujuannya. Penjelasan Bhagavad Gita 10:14 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Mengapa Guru Melayani Orang yang Belum Sadar

Posted in Inspirasi Rohani with tags , , on January 5, 2018 by triwidodo

Dikisahkan ada seorang Guru yang sedang mengadakan retret selama beberapa minggu dan para murid dari berbagai daerah datang mengikuti acara retret tersebut.

Dalam acara retret tersebut seorang murid tertangkap basah mencuri. Beberapa murid kemudian lapor kepada sang guru akan tetapi sang guru mendiamkan kasus tersebut.

Selang beberapa hari sang murid tersebut tertangkap basah melakukan hal yang sama, dan sekali lagi sang guru mengabaikan permintaan para murid untuk mengeluarkan sang pencuri. Para murid berencana akan protes akan kebijakan Sang Guru, akan tetapi salah seorang pengurus padepokan menenangkan mereka. Pengurus tersebut menyampaikan bahwa mereka semua sedang berguru, kalau mereka tidak percaya kepada kebijakan guru, mengapa mereka masih saja bertahan. Mereka telah yakin pada kebijakan Guru, oleh karena itu semua diminta menunggu penjelasan beliau.

Sore itu sang guru mengumpulkan semua murid, dan menyampaikan penjelasan, “Kalian semua adalah para murid yang bijaksana. Kalian sudah tahu mana yang benar maupun mana yang salah. Keluar dari padepokan ini kalian semua akan mempraktekkan pelajaran yang kalian peroleh dan masyarakat akan bersyukur karena kehadiran kalian. Akan tetapi saudara kalian, murid yang miskin ini bahkan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Siapa yang akan mengajari dia? Aku bahkan akan menahan dia di sini walau kalian semua akan pergi meninggalkan padepokan.

Air mata murid yang menjadi pencuri, mengalir deras, dalam hati sudah menancapkan tekad “aku tidak akan mencuri, aku akan belajar dengan tekun………….”

Melihat si pencuri menangis, semua murid maklum akan kebijakan Sang Guru. Mereka, para murid hanya menunjukkan dan tidak senang siapa yang salah, akan tetapi sang guru mengajari, memberi solusi agar tidak lagi berbuat salah. Guru ingin semua murid yang sudah komitmen belajar tidak berbuat salah…..

Para murid ingat kisah Sang Guru tentang Avalokiteshvara, yang dikenal di China sebagai Dewi Quan Yin, yang menunda ke Nirvana selama masih ada makhluk yang menderita, yang melakukan kesalahan…….. 

Kita semua telah melakukan kesalahan, kalau tidak melakukan kesalahan kita sudah tidak lahir kembali. Kita semua memperoleh berkah karena ada Orang Bijak yang berkenan lahir kembali memandu kita semua……… Kita juga harus membantu Guru melayani mereka yang belum sadar.

Berbagi kesadaran, berbagi kasih

Keinginan para Yogi yang sudah tidak terikat dengan alam benda berbeda dari keinginan kita. Mereka ingin “berbagi” – Mereka ingin berbagi kesadaran, berbagi kasih. Mereka ingin melayani! Seperti inilah keinginan para Vivekananda dan para Bodhisattva seperti Avalokiteshvara, “Selama masih ada satu pun Jiwa, satu pun makhluk yang menderita karena ketidaksadarannya, maka aku akan lahir lagi dan lagi, berulang kali, untuk melayaninya.”

Keinginan yang sangat mulia. Sesungguhnya, dunia ini masih eksis karena kebaikan hati mereka. kebaikan hati mereka – walau berjumlah sedikit – jauh lebih “berat” dari segudang kebatilan kita. Kebatilan diri kita larut dalam kasih mereka, dalam kebaikan mereka. Demikian, roda dharma, roda kebajikan berputar karena welas-asih mereka. Penjelasan Bhagavad Gita 6:42 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia via #BhagavadGitaIndonesia

Bertemu dengan Buddha Maitreya, Avalokiteshvara

Seorang Buddha Maitreya pun masih harus memiliki beberapa bahan pokok, demi kelangsungan hidup. Apalagi Ia telah memilih untuk berada kembali di Pasar Dunia. Ia tahu persis apa yang dibutuhkan selama dalam pelawatannya. Ia siap untuk itu. Ia telah membekali dirinya.

Anda akan berjumpa dengan dia ,di tengah-tengah keramaian dunia. Mungkin Ia sedang makan hamburger di McDonald’s atau sedang nonton film Titanic. Ia tidak akan menjauhkan diri dari keramaian. Keberadaan-Nya di tengah keramaian dunia merupakan anugerah, kurnia, blessing.

Siapa pun yang bertemu dengannya akan ikut memperoleh pencerahan. Ia menyebarkan virus kesadaran. Kehadiran Dia dalam hidup Anda akan membantu terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri Anda. Ia tidak melakukan sesuatu. Ia tidak perlu menunjukkan mukjizat. Keberadaan Dia merupakan mukjizat. Hanya melihat Dia saja sudah cukup, Anda akan tersentuh oleh Kasih-Nya.

Seorang Maitreya adalah seorang Avalokiteshvara—Ia yang mendengar jeritan kita. Ia menunda Nirvana demi kita, demi saya dan demi Anda. Keberadaan Dia di tengah Anda merupakan suatu kejadian yang langka, amat sangat langka. Bukan sesuatu yang dapat terulang lagi setiap saat. Apabila Anda bertemu dengan seorang Maitreya, dengan seorang Avalokiteshvara, dengan seorang Mitra Alam Semesta, dengan seseorang Yang Mendengarkan Jeritan Makhluk-Makhluk Hidup, berbahagialah, bergembira-rialah! Sentuhan kasih Dia, senyuman Dia dapat mengantar Anda ke Puncak Bukit Kesadaran Murni.

Ada yang menanyakan, bagaimana kita bisa mengenali seorang Maitreya, seorang Buddha, seorang Avalokiteshvara, seorang Kristus, seorang Nabi? Ia mengutip saya, “Menurut Pak Krishna sendiri, Dia mungkin sedang makan burger di McDonald’s, mungkin sedang nonton film Titanic. Ia begitu sederhana. Kalau begitu, kan sulit sekali mengenalinya?!”

Ada satu cara—cara yang paling gampang—atau mungkin satu-satunya cara: Bersihkan kerak dan karat jiwamu—apabila jiwamu tidak berkarat, apabila hatimu bersih, kau tidak perlu mencari-Nya. Ia akan menarik kamu. Ia bagaikan magnet. Ia bisa menarik kamu. Syaratnya hanya saru: bersihkan kotoran yang menutupi jiwamu, hatimu.

Dan untuk membersihkan jiwa itu, tidak terlalu banyak yang harus kau kerjakan. Membersihkan jiwa dalam konteks ini hanya berarti menjadi reseptif. Membersihkan hati berarti membuka diri. Lepaskan prasangka, praduga dan kebimbanganmu. Ia akan menarik kamu. Nuranimu akan mengenali-Nya. Jangan meragukan hal ini. Yakinilah suara hati nurani sendiri.

Seorang Maitreya tidak takut dengan hiruk-piruknya dunia. Ia telah memilih untuk kembali mengunjungi pasar dunia. Ia tidak akan melarikan diri. Keedanan dunia ini tidak bisa mempengaruhi kewarasan-Nya. Dunia akan menganggap—Nya edan, tetapi Ia tidak peduli.

Bukalah dirimu, jiwamu—jadilah reseptif, terbuka—mungkin saat ini kau sedang berhadapan dengan seorang Maitreya, seorang Mitra Dunia! Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (1998). Zen Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)